Bagian 17

8.8K 888 88
                                    


Sunyinya malam menemani seorang remaja yang tengah duduk termenung di sebuah taman yang sudah sepi itu. Wajar saja, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tidak ada lagi orang orang yang berlalu lalang disini.

Dinginnya malam yang menusuk kulit tidak membangkitkan niatnya untuk bangkit dari bangku taman. Walaupun wajahnya sudah pucat dan bibirnya juga sudah memutih. Dia tidak peduli.

Masih menggunakan seragam sekolahnya, Aska memutuskan untuk mendinginkan pikirannya sejenak. Banyak sekali hal hal yang sedang berlarian di pikirannya saat ini. Kepalanya juga pusing sedari tadi.

Sudah beberapa menit berlalu. Aska hanya memandang kosong arah ke depan. Sampai kapan dia akan seperti ini? Waktu terus berjalan. Tapi semua yang dia usahakan sepertinya tidak ada hasil sama sekali. Dia lelah? Tentu. Lalu apa yang harus dia lakukan? Memang di luar sana dia berusaha tampak baik baik saja. Namun, disini, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia selalu merasakan sakit yang bahkan dia tidak bisa menjabarkan seberapa sakit itu. Bukan tentang luka fisiknya tapi tentang luka tak kasat mata yang selalu menjadi temannya ketika malam menjelang.

Di setiap malam, sebelum memejamkan matanya, Aska selalu bertanya pada dirinya sendiri. Kapan dia akan merasakan betapa tulusnya kasih sayang seorang ibu? Kapan dia bisa mencurahkan apa yang dia rasa selama ini pada mamanya? Kapan dia akan merasakan bagaimana hubungan normal yang biasa terjadi antara anak dan ibu? Kapan itu semua akan terwujud? Atau Aska tidak punya kesempatan untuk merasakan itu semua?

Disaat seorang ibu di luar sana berusaha memberikan yang terbaik untuk putranya. Menyalurkan semua kasih sayang yang dia punya pada putranya. Kenapa Aska tidak pernah merasakan itu semua? Kenapa? Dia harus bertanya pada siapa?

Aska juga sempat berpikir, apa yang tengah mamanya pikirkan ketika melihatnya. Kenapa Aska tidak pernah menemukan tatapan ketulusan pada mata mamanya? Kesalahan sebesar apa yang dia buat sebenarnya? Aska hanya ingin mengetahui itu semua.
Itu saja.

Mengenai kakaknya, Arka. Aska rasa dia perlu menyiapkan hati dari sekarang. Seandainya Arka tiba tiba menyuruhnya pergi dari rumah, dia tidak bisa menolak lagi. Kalau itu permintaan kakaknya dia akan turuti. Untuk saat ini dia akan bersikap seperti biasa. Dia harus lebih menguatkan hati lagi.

Tangannya beralih memijat pelipisnya perlahan. Pusingnya masih belum reda. Padahal dia sudah meminum obat sakit kepala yang nenek Fatma berikan padanya sewaktu bekerja tadi.

Aska beralih bangkit dan melangkahkan kaki meninggalkan taman. Deru napasnya terdengar sesak. Dia harus mencari taksi saat ini. Tubuhnya benar benar butuh diistirahatkan.

***

Niat hati setiba di rumah dia akan langsung bertemu dengan kasur empuknya. Tapi keinginannya itu dipatahkan langsung oleh kehadiran Delvin yang tengah duduk di ruang tv dan menatap sinis ke arahnya.

Apalagi sekarang? Aska hanya berharap Delvin tidak memancing emosinya saat ini. Moodnya benar benar buruk sekarang.

"Udah pulang?", Tanya Delvin dengan nada remeh.
Dia melangkahkan kaki ke arah Aska. Dia menatap wajah Aska yang masih ada bekas lebam lebam itu lalu terkekeh sesudahnya.

"Lo gue perhatiin pulang malam terus. Dari mana lo?", Tanyanya lagi melirik sinis Aska.

Aska masih enggan untuk menjawab. Dia menatap datar ke arah Delvin.

Delvin terkekeh dan mendekatkan wajahnya ke arah Aska "Apa...lo anak club sekarang?", Seringai muncul di bibir tipisnya.

Habis sudah kesabaran Aska "Mau lo apa sih?", Tidak membentak, tapi lebih terkesan dingin.

"Mau gue?", Delvin memasukkan tangannya ke dalam saku celana lalu memasang wajah seolah tengah berpikir.

"Lo pergi dari rumah ini! Dan gak nyusahin keluarga ini lagi!", Ucapnya enteng.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang