Bagian 19

9.3K 926 117
                                    


Tubuh ringkih itu tidak beranjak barang sedikitpun. Dia masih betah memandang kosong ke arah jendela kamar yang masih terbuka. Hawa dingin menerpa wajah pucatnya. Malam ini tidak ada bintang. Langit pun tampak kelam seolah olah ikut menertawakan nasibnya. Tidak ada air mata. Hanya pandangan datar seolah tidak terjadi apa apa.

Aska beralih mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Membuka nakas mengambil sebuah foto seorang wanita cantik yang sedang tersenyum ke arah kamera. Tidak hanya itu, tampak dia tengah menggendong seorang bayi. Aska tersenyum sambil mengelus lembut foto tersebut. Itu bukan dia. Itu adalah kakaknya, Arka. Dapat Aska lihat pancaran kebahagiaan pada wajah mamanya akan kehadiran sang buah hati.

Hanya foto ini yang Aska punya. Foto yang selalu jadi kekuatannya dikala dia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap mamanya. Aska tidak punya foto dengan mama. Tidak bertanya pun dia sudah pasti tahu alasannya.

Menaruh kembali foto tersebut pada tempatnya. Aska beranjak menutup jendela. Melangkahkan kaki pelan ke arah kamar mandi.

Setelah menutup pintu, tubuh itu merosot jatuh terduduk. Satu tetes air mata jatuh begitu saja di pipi tirusnya. Setelah berusaha menahan semua ini mati matian, Aska akui dia tidak sanggup. Kebenaran yang terlontar begitu saja dari mulut mamanya begitu menyakiti hatinya sampai ke relung paling dalam. Menghancurkan kepingan kepingan yang sudah susah payah Aska tata kembali. Tadinya dia akan berusaha mencerna perkataan itu pelan pelan, tapi Aska tidak bisa rupanya.

Aska memang selalu menantikan jawaban akan pertanyaan yang sering dia renungkan di kala malam tiba. Pertanyaan sederhana yang selalu dia nantikan jawabannya. Pertanyaan yang akan menjawab apa arti hadirnya di dunia.

Memang benar sepertinya apa yang orang orang bilang. Kebenaran akan datang tanpa orang itu minta tetapi menunggu waktu yang tepat akan hadirnya. Tapi kenapa setelah mendengar kebenaran itu langsung dari mulut sang mama rasanya sangat menyakitkan sekali.

Aska terkekeh pelan menertawakan nasibnya. Masih dengan air mata yang tidak hentinya mengalir. Aska bukannya cengeng, hanya saja kenyataan ini terlalu menyakitkan baginya.

Tidak tahu asal usulnya ya? Dia tertawa miris. Seketika Aska ingin menarik kata katanya pada Delvin beberapa hari yang lalu. Ternyata nasibnya tidak beda jauh dengan Delvin. Oh tunggu, sangat jauh lebih tepatnya.

Aska bukannya membandingkan nasibnya dengan Delvin. Tapi memang kenyataan kalau Delvin lebih beruntung darinya. Dikelilingi kasih sayang dari orang orang tercinta walaupun boleh dikatakan kehadirannya dalam keluarga ini masih awal yang baru.

Beda lagi dengannya bukan, Aska pikir dia memang bagian dari keluarga ini. Nyatanya dia juga hanya orang asing yang hadir disini yang bahkan menjadi alasan kehancuran keluarga ini. Pantas saja mama dan Arka sangat membencinya. Tapi kenapa mereka tidak memberitahunya? Setidaknya kalau Aska tau, dia tidak akan begitu mengharapkan sesuatu yang bahkan sia sia terjadi. Siapa yang harus disalahkan disini?

Berbagai pertanyaan berlarian di pikiran Aska saat ini. Jadi, siapa orang tua kandungnya? Kenapa dia bisa hadir dalam keluarga ini? Apakah dia dipungut dari panti asuhan? Dari jalan? Atau dari mana? Mau bertanya pada siapa dia?

Masih berperang dengan pikiran buruknya, Aska merasakan cairan berbau anyir keluar dari lubang hidungnya. Melewati bibir, dagu bahkan sudah mengotori seragamnya.

Apa lagi ini? Kenapa sakitnya harus datang disaat seperti ini? Sungguh, Aska butuh seseorang sekarang. Dia butuh sandaran. Tunggu, Memangnya siapa yang sudi mendengarkan keluh kesahnya ini? Untuk pertama kalinya dia marah pada diri sendiri.

Berusaha berdiri disaat darah yang mengalir tidak mau berhenti. Kepalanya pusing bukan main. Aska mencengkram dadanya saat nyeri itu menyerang. Sakit. Ini benar benar sakit sekali.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang