Bagian 6

9K 898 53
                                    

"Lo pikir lo siapa bisa pulang pergi seenak lo?", Aska berbalik melihat Arka yang sedang menatap tajam ke arahnya. Bisa Aska lihat kilat kemarahan pada mata sang kakak.

Pandangan Aska beralih menatap seseorang yang tengah duduk di atas sofa. Dia merasa tidak asing dengan sosok itu. Saat seseorang itu berbalik, Aska tersentak. Dia pamannya, Samuel. Aska langsung menundukkan kepalanya lalu tersenyum miris. Kali ini luka apa lagi yang akan dia terima?

Aska hanya diam tidak berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arka barusan.

"Lo tau kan sekarang tanggal berapa?", Tanya Arka datar.

Astaga. Aska lupa kalau sekarang sudah awal bulan, yang berarti jadwal Aska jadi pendonor untuk Alea, anaknya Samuel.

Thalasemia, itulah yang dikatakan dokter. Yang mana Alea harus mendapatkan donor darah dua sampai empat minggu sekali. Dan kebetulan golongan darah Aska sama dengan Alea, jadi Aska lah yang harus dikorbankan. Begitulah kata pamannya.

Mengenai pamannya, Samuel. Aska tidak tahu dimana letak kesalahannya. Selama ini dia hanya mendapatkan makian serta omongan kasar dari pamannya. Samuel bilang dia hanya penghancur kehidupan Arka. Keponakan kesayangannya. Aska juga tidak mengelak. Lebih tepatnya dia membenarkan semua perkataan Samuel.

Sudah dua tahun terakhir Aska jadi pendonor tetap untuk Alea. Aska sama sekali  tidak pernah mengeluh. Jika itu yang bisa dia lakukan untuk bisa dekat dengan pamannya, tidak masalah. Akan Aska lakukan.

"Om Samuel! Kesini kok ga bilang bilang?", Lamunan Aska terhenti ketika Delvin datang dari lantai atas lalu berlari memeluk Samuel.

"Baru nyampe Vin, udah gede kok masih manja aja", goda Samuel disertai cubitannya pada hidung mancung Delvin.

"Aku ga manja ya Om, aku cuma kangen banget sama Om", Delvin memeluk Samuel kedua kalinya. Samuel yang gemas dengan tingkah Delvin dengan senang hati membalas pelukan Delvin.

Arka yang memperhatikan tingkah Delvin hanya tersenyum sambil geleng kepala.

"Alea mana Om? Kok ga diajak?", Tanya Delvin setelah mendudukkan diri di sofa. Alea itu masih 10 tahun. Delvin sangat suka main dengannya. Dia itu cantik dan lucu.

"Di rumah, Dia tadi mau ikut tapi ga om bolehin. Cuaca sekarang lagi kurang baik juga kan", jawab Samuel.

"Iya juga sih, ga baik juga sama kesehatannya. Ga papa deh Om. Lain kali ajak kesini ya Om", ujar Delvin sangat Antusias.

Sedari tadi mereka bertiga asik berbincang melupakan seseorang yang masih berdiri di dekat pintu memperhatikan interaksi mereka. Aska tidak buta. Dia melihat semuanya. Kenapa hatinya sangat sakit melihat mereka tertawa bahagia tanpa dirinya.

Tanpa dia sadari setetes air mata jatuh di pipi tirusnya. Aska buru buru menghapusnya. Dia tidak boleh kelihatan cengeng. Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Tidak mau berlama lama dengan kesedihannya, Aska beranjak pergi ke lantai atas.

Di pertengahan anak tangga, suara Samuel menghentikannya.

"Besok ga usah sekolah. Saya jemput jam delapan", ujar Samuel. Aska menghentikan langkahnya tanpa berbalik. Dia hanya diam lalu melanjutkan langkahnya kembali.

"Om, kalau Aska terus ngelakuin ini, apa gak  berdampak buruk sama kesehatannya Om?", Tanya Delvin khawatir pada Samuel.

Bohong kalau dia tidak kasian kepada Aska. Selama ini dia hanya diam melihat Aska diperlakukan kasar oleh kakaknya. Delvin juga tidak tahu alasan Arka sangat membenci Aska. Ingin bertanya tapi Delvin tidak memiliki keberanian.Dia ingin membela tapi dia tidak bisa. Delvin tidak mau dijauhi Arka hanya karena membela seorang Aska.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang