Rendra. Lelaki itu belum juga ada di vila. Entah kemana perginya. Semua pintu di vila juga hanya dibiarkan tertutup tanpa dikunci. Beruntung tidak dimasuki pencuri.
Akas dan Riris pun segera membuka pintu depan dan masuk ke dalam vila. Senthir di ruang tengah adalah cahaya yang pertama kali menyambut mereka. Akas mencoba menyalakan saklar tapi lampu tidak kunjung menyala.
"Kayaknya listriknya abis, deh," ujar Riris. Beruntung cahaya senter yang Riris bawa masih bisa dimanfaatkan, tidak seperti ponsel Akas yang mati kehabisan baterai. Akas kemudian teringat kalau tadi ia meninggalkan senternya di rumah Karin. Tapi, mungkin sekarang sudah hilang.
"Ke kamar, yuk."
"Hah?" Riris membulatkan matanya. "Ngapain?"
"Ck, udah ayo." Akas berjalan lebih dulu untuk masuk ke kamar sembari menyampirkan jaketnya ke kursi.
"Ngapain, sih? Lo mau macem-macem, ya."
"Tadi kan gue bilang mau ngasih sesuatu."
"Wah, wah, nggak bener, nih. Lo mau ngasih kebujangan lo, kan? Sumpah lo tuh nggak waras."
"Hah? Maksud lo gimana?" kini giliran Akas yang dibuat kebingungan.
"Lo ngajakin gue masuk kamar buat apa coba kalau nggak begitu."
"Astaga." Akas mengusap wajahnya kemudian menjelaskan. "Gue mau ngasih tahu sesuatu tentang vila ini di kamar supaya nggak ketahuan Rendra. Bahaya kalau sampai dia tahu." Akas berbicara lirih. "Lo pikir gue mau apa-apain lo?"
"Ohh ... hahaha. Gitu, ya? Ya udah, cepetan." Riris masuk ke dalam kamar dan mendahului Akas yang masih berdiri di depan pintu. Dirinya tersipu malu. Segera Akas menyusul masuk kemudian menutup pintunya.
...
Mereka berdua saling duduk berhadapan di ranjang Riris. Cahaya dari senter Riris menjadi satu-satunya penerangan yang mereka gunakan. Akas masih bingung ia harus mulai berbicara darimana untuk memberitahu Riris.
"Astaga, malah bengong," gertak Riris yang kemudian menyadarkan lamunan Akas.
"Iya. Ini mau ngomong." Akas membenarkan posisi duduknya baru berbicara. "Lo tahu Vila Meladewa?"
Riris terdiam, menautkan alisnya bingung. "Vila macam apa itu? Gue nggak pernah denger."
"Nah, itu. Gue nggak tahu, gue juga nggak pernah denger."
"Jadi, lo mau ngasih tahu gue sesuatu apaan kalau lo juga nggak tahu?"
"Itu Vila Meladewa. Kita cari tahu barengan apa maksudnya."
"Astaga." Riris menepuk jidatnya.
"Pelan-pelan ngomongnya."
"Iya, iya. Terus, emangnya apa hubungan vila itu sama kita?" tanya Riris dengan suara yang ia pelankan seperti yang diperintahkan Akas.
"Ya belum tahu juga, sih."
"Bentar, bentar. Lo tahu vila itu darimana?
"Gue tahu dari adiknya Rendra."
"Apa? Karin maksud lo? Lo ketemu dia kapan?"
"Tadi. Ah, udahlah nggak usah bahas Karin. Kembali ke topik, Vila Meladewa."
"Lo ada hubungan apa sama Karin?" Riris malah mengalihkan pembicaraan. Ia menyipitkan matanya menatap Akas.
"Nggak ada apa-apa. Jangan dibahas."
"Oke, oke. Terserah lo." Riris menjauhkan tubuhnya dari Akas. "Lalu, bukannya nama vila ini Vila Rendra ya bukan Vila Meladewa?"
"Bisa jadi itu adalah nama vila ini sebelum Rendra membelinya tiga tahun lalu." Akas menatap Riris terlihat bingung. Ia kemudian menerangkan. "Ya. Vila ini masih baru dibelinya."
"Oke."
"Sekarang kita fokus aja sama Meladewa. Mungkin nama itu ada hubungannya dengan pemilik vila ini sebelum Rendra." Akas melanjutkan dalam hati. "Dan mungkin juga ia ada hubungannya dengan kejadian itu."
"Sebenernya tujuan lo cari tahu hal begituan buat apa, sih? Bikin gue bingung aja." Riris mengetuk-ngetukkan jarinya pada pelipisnya.
"Yang jelas, tadi Karin bilang Vila Meladewa ke gue, tapi dia nggak mau jelasin apa-apa. Dan rasanya gue perlu nyari tahu soal itu."
"Lo tahu sendiri kan, Rendra ngelarang kita buat ikut campur masalah absurd kayak gitu. Lo mau bikin Rendra marah kalau tahu kelakuan kita?"
"Kalau diantara kita nggak ada yang ngasih tahu Rendra tentang hal ini, Rendra nggak akan tahu dan marah sama kita. Gue harap lo jaga rahasia ini."
"Iya, iya. Gue bisa aja diam dan menyembunyikan semua ini dari Rendra. Tapi, kutukan itu? Siapa yang akan menanggungnya? Gue nggak mau kena kutuk."
"Semua akan baik-baik aja, Ris. Percaya sama gue. Nggak ada yang perlu ditakutin. Kutukan itu cuma takhayul."
"Gue harap omongan lo ini benar, Kas. Gue nggak mau menanggung imbasnya."
Akas mengangguk, meyakinkan Riris.
"Hm, kenapa namanya Vila Meladewa? Meladewa itu bahasa mana?" Riris kembali berpikir.
"Bisa aja dari bahasa Jawa kuno, mungkin."
"Meladewa, mungkin ada hubungannya sama dewa? Dewa Mela"
"Setahu gue, dalam pewayangan nggak ada nama dewa kayak gitu."
"Terus Mela ini siapa, dong?"
"Me-la. Biasanya vila dinamai sama nama pemiliknya. Contohnya sekarang udah jadi Vila Rendra. Jadi, berkemungkinan ia adalah pemilik vila ini sebelum Rendra."
"Masuk akal juga. Tapi, kalau kita nyari orang yang namanya Mela di desa ini mungkin orangnya udah wafat, atau jadi nini buyut. Atau kalau beneran masih hidup, mana mungkin ia akan jual vila ini. Pasti akan diwariskan ke cucunya, terus disewakan. Kan lumayan dapat uang."
Akas mengacak rambutnya.
"Kalau pemiliknya bukan Mela terus siapa? Me-la-de-wa. Apaan, sih?"
"Dibalik."
"Aw-ed-al-em," lanjut Akas sambil mengangkat wajahnya setelah mendengar bisikan yang tiba-tiba terdengar di telinganya. "Itu dia."
"Bahasa Belanda?" tanya Riris.
"Nggak. Tapi, bahasa Jawa."
"Emang bahasa Jawa ada yang begituan?"
"Aw-ed-al-em. Coba deh disatukan, Awe-dalem. Dalem kan bahasa krama alus dari rumah. Jadi, singkatnya Awe Dalem mungkin maksudnya Rumah Awe," jelas Akas.
"Rumah Awe?" ulang Riris memastikan yang diucapkan Akas.
Akas mengangguk mantap. "Jadi, menurut dugaan gue, pemilik vila ini adalah si Awe."
"Tapi, Awe ini siapa?"
Akas berpikir sejenak. Ia menutup matanya berusaha berkonsentrasi. Nama itu terasa tidak asing baginya. Akas berpikir dalam. Ia hampir tahu pemilik vila ini. Ia hanya perlu mengingat-ingat.
Lalu Akas membuka matanya. Ia kembali mengangkat wajahnya. Kemudian tersenyum bangga.
"Gue udah tahu. Awe, Aruna We Ageng Segara. Kakeknya Karin."
"Apa?!"
Bersamaan dengan itu, lampu tiba-tiba menyala dan pintu kamar langsung terbuka. Rendra berlalu masuk dan langsung mengagetkan mereka berdua.
"Kalian ngapain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KELANA
Horror[COMPLETED] Gadis itu berkalung permata, dengan sebuah kunci kecil berhiaskan berlian hijau menggantung sebagai bandulnya. Kalung itu membuka gerbang ke dunia lain. "Selamat datang." Diwangka Akasa. Dirinya tidak menyadari, jika kedatangannya ke seb...