Mereka berdua berhenti tepat di pertigaan jalan menuju rumah Karin. Jalanan itu sepi. Tidak ada seorang pun selain Akas dan Karin.
Keduanya saling bungkam, sedang mengatur nafasnya yang terengah-engah karena terlalu jauh berlari. Matahari sudah malu menampakkan wajahnya lagi. Sekarang bintang berpijar itu sudah sempurna ditelan pegunungan, meninggalkan cahaya gelap sebagai ucapan sampai bertemu besok. Suara bedug masjid mulai terdengar, pertanda sudah waktu Magrib.
Remang-remang terlihat luka Akas di wajahnya. Kini Akas menyesal, kenapa tadi dirinya memukuli Rendra begitu brutal sementara Rendra hanya memukul Akas untuk mempertahankan dirinya. serasa benar-benar menjadi seperti ibunya, kasar. Ia baru sadar perkataan Rendra tentang dirinya adalah benar. Akas memperumit, menyusahkan, tidak berguna, dan pembuat masalah. Pasti Karin akan memarahinya setelah ini.
"Syukurlah." Karin menghela nafasnya. Ada rasa lega di nada bicaranya. "Luka kamu nggak begitu parah, kan?"
"Bentar, maksud lo apa? Kenapa malah bersyukur, sih?" Akas dibuat bingung. Aneh, kenapa Karin tidak marah kepada Akas yang sudah jelas-jelas membuat Rendra, kakak Karin, babak belur seperti tadi.
"Terus?"
"Harusnya lo marah sama gue. Harusnya lo maki-maki gue. Gue udah buat Rendra hampir mati, harusnya lo belain dia. Dia kakak lo."
"Harus, ya?"
"Jelas harus. Lo aneh banget sih tadi bukannya nolongin Rendra malah bawa gue lari."
"Aku cuma mempertahankan apa yang menurut aku benar."
"Hah? Darimana lo tahu kalimat itu?"
"Kamu yang bilang."
"Tapi, lo nggak ada di tempat kejadian waktu gue bilang gitu sama Rendra. Harusnya lo nggak tahu."
"Aku tahu semuanya."
"Lo tuh sebenarnya makhluk apa, sih? Dari awal kenapa lo tuh aneh banget? Gue nggak habis pikir sama lo. Sumpah ya, lo gadis aneh, misterius, dan ... beda."
"Udah selesai herannya?"
"Ck, jadi sekarang lo mau apa?"
Karin tersenyum, kemudian mendekati Akas. Ia mengulurkan sapu tangan merah mudanya ke wajah Akas, lalu menempelkannya ke hidung Akas yang tampak mimisan itu.
"Ke rumah aku sekarang, obati dulu luka kamu. Nanti aku jelasin semuanya."
Akas mematung selama beberapa saat, sampai menyadari betapa harumnya sapu tangan milik Karin yang menyentuh hidungnya. Ia mengangguk, kemudian mengambil paksa sapu tangan milik Karin dan mengelap sendiri darah yang ada di hidungnya. Karin terkekeh melihat tingkah Akas.
...
Riris mengompres luka Rendra sepelan mungkin. Lebamnya tampak semakin membiru dan bengkak. Namun, Rendra sama sekali tidak merintih sakit. Wajahnya masih tegang memikirkan Akas.
Supir sedan yang Rendra sewa masih setia menunggu di mobil miliknya. Kini bapak itu sudah terlelap tidur, mungkin efek terlalu lama menunggu membuatnya mengantuk. Bahkan sama sekali belum ada salah satu dari Riris ataupun Rendra berniat untuk membangunkan sang bapak. Biarlah.
"Maaf ya soal Akas."
Rendra sama sekali tidak merespon ucapan Riris. Pandangannya hanya tertuju pada baskom berisi air hangat yang Riris gunakan untuk mengompres lukanya.
"Lebih baik kita tunda aja ya balik ke Jakarta-nya. Udah Magrib, nih. Akas juga belum balik ke vila. Mending kita balik ke Jakarta besok pagi aja."
Wajah Rendra semakin kecut. Segera ia meninggalkan Riris dan masuk ke kamar. Riris tidak mengikutinya. Riris paham, Rendra butuh waktu untuk sendiri. Rendra lalu menutup pintu kamar dengan sempurna. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di ranjang, membuat suara ringkihan pelan terdengar. Ringkihan sesuatu yang tak masuk akal.
...
Akas terpaksa memegang lengan Karin kuat, dirinya takut. Dengan hanya berbekal sebuah lentera yang Karin pegang, mereka berdua menyusuri hutan pinus yang gelap. Akas sama sekali tidak terpikir untuk menyalakan senter ponsel miliknya. Sekarang hampir jam delapan malam. Mereka berdua pergi ke hutan pinus setelah mengobati luka Akas ala kadarnya, mengompresnya tanpa sempat memberi obat merah atau plester.
Suara burung hantu semakin menakuti Akas, sementara Karin terlihat begitu tenang. Walaupun ada sedikit guratan rasa takut di wajahnya, setidaknya Karin tidak setakut Akas. Wajah Akas berkeringat dingin dari tadi, bahkan tangannya pun gemetar kala memegangi lengan Karin yang kelewat dingin itu. Akas harap Karin bukanlah mayat hidup.
Hutan tetap saja hutan. Apalagi saat malam hari, kesannya semakin menakutkan. Semak-semak yang mereka berdua lewati tak henti-hentinya bergemerisik. Entah sudah ada berapa banyak hantu yang iseng menggoyang-goyangkannya. Jangkrik yang tiba-tiba meloncat ke kaki Akas pun berulang kali membuat Akas mengumpat tak keruan karena kaget. Belum lagi kalau dirinya tak sengaja tersandung akar kayu yang dikiranya hantu yang sengaja menjegal kakinya. Semua itu semakin mempercepat deru jantung Akas.
"Lo nggak mau bunuh gue, kan? Gue takut gelap," ujar Akas dengan berbisik kepada Karin. Akas cukup trauma berada di tempat gelap karena rasanya sama seperti dulu saat dirinya sering dikurung ibunya di dalam lemari sempit. Rasanya menakutkan, tidak bebas, dan mengancam nyawa.
"Mungkin." Karin terkekeh pelan, menertawakan tingkah Akas di sampingnya. Akas mendengus pelan, sebal dipermainkan Karin.
"Maaf, ya." Akas berujar reflek, tidak tahu apa sebabnya. Kalimat itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya. "Gue selalu banyak salah."
"Kenapa minta maaf ke aku?"
"Karena gue udah membawa lo terlalu jauh masuk ke dalam kutukan ini. Semuanya salah gue. Harusnya gue yang menanggungnya sendiri. Tapi, justru gue malah melibatkan lo."
"Nggak sama sekali. Justru kamu udah membawaku melangkah menghadapi kutukan itu. Asalkan kamu tahu, aku begitu takut. Semenjak tiga tahun yang lalu aku selalu menyembunyikan diri. Aku sama sekali nggak ada keberanian lagi setelah kehilangan Simbah Kakung, dan tentu kamu tahu sendiri, Dayu."
Ada jeda sebentar sebelum Akas bertanya lagi. "Mereka berdua berharga banget ya buat lo?"
Karin mengangguk. "Dulu Dayu pernah bilang, dia bermimpi kalau dia dan Simbah Kakung akan kehilangan aku. Tapi, malah sebaliknya, aku yang kehilangan mereka berdua." Karin sedikit menunduk. "Meninggalkan dengan cara yang mengerikan seperti itu, aku benci."
Akas dapat menangkap kesedihan di balik bola mata hitam milik Karin. Hidup tertekan selama tiga tahun dengan bayangan kematian orang tersayang, itu akan terus menjadi mimpi buruknya setiap malam. Tidak jauh beda dengan Akas yang juga mempunyai mimpi buruk yang harus dilewatinya selama bertahun-tahun. Dunia Akas juga semengerikan dunia Karin. Mereka sama-sama sendirian.
"Beruntung ada Kak Rendra, walaupun aku belum sepenuhnya percaya sama dia, seperti kamu yang belum sepenuhnya percaya sama aku," lanjut Karin membuat Akas mengangkat sebelah alisnya.
"Apa sebenarnya lo udah tahu semua yang Rendra sembunyikan?"
Karin tersenyum lalu menggeleng pelan. "Nanti kamu juga akan tahu sendiri."
Akas menurunkan genggaman tangannya yang semula menggenggam lengan Karin. Kini ia memberanikan diri menggenggam telapak tangan Karin yang begitu dingin itu. Sama seperti awal pertemuannya saat berjabat tangan dengan Karin, tangan itu selalu terasa dingin, tidak pernah berubah.
Kemudian Karin menoleh ke arah Akas yang tiba-tiba menggenggam telapak tangannya erat. Karin tidak begitu masalah jika Akas menggenggam tangannya karena alasan takut gelap seperti tadi. Tapi, kali ini rasanya berbeda. Akas pun mengalihkan wajahnya dari Karin karena canggung.
"Mulai hari ini, kita akan menanggung semuanya bersama," ucap Akas tanpa menoleh ke arah Karin. Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Akas barusan. Karin percaya, tidak ada yang perlu ia takutkan lagi. Karin mengangguk pelan, walaupun anggukannya sama sekali tidak akan dilihat Akas, tapi ia yakin Akas pasti merasakan kalau Karin sepakat dengan ucapannya tadi.
Gubuk tua mulai terlihat di pandangan mata. Kini mereka sudah berdiri di terasnya. Akas meneguk salivanya kasar, ternyata Karin mengajaknya ke gubuk tua ini. Apa sebenarnya yang ingin Karin tunjukkan pada Akas?
"Selamat datang di portal maya." Karin menyeringai, lentera di tangannya seketika padam. Lalu Akas merasakan ada tangan lain yang menariknya, lebih dingin. Akas tidak tahu apa itu. Ia tidak bisa melihat apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELANA
Horror[COMPLETED] Gadis itu berkalung permata, dengan sebuah kunci kecil berhiaskan berlian hijau menggantung sebagai bandulnya. Kalung itu membuka gerbang ke dunia lain. "Selamat datang." Diwangka Akasa. Dirinya tidak menyadari, jika kedatangannya ke seb...