51. Penyelamat

23 3 0
                                    

Mengetahui Akas dirawat di rumah sakit, Riris dan Rendra pun segera menyusul ke sana. Di sana mereka bertemu Karin yang sedang duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Karena insiden tadi, Akas langsung dimasukkan ke ruang operasi untuk dijahit belakang kepalanya. Sudah hampir satu jam operasi berlangsung tetapi dokter yang menangani operasi tersebut belum juga keluar dan mengatakan bagaimana jalannya operasi tersebut.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rendra kepada Karin dan hanya mendapat jawaban gelengan kepala dari Karin.

Cklek.

Pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter pria dengan seragam bedah hijau toska keluar dari ruangan disusul dengan beberapa perawat lainnya. Mereka bertiga pun segera menghampiri dokter itu berniat menanyakan keadaan Akas.

"Teman kalian akan segera pulih. Hanya perlu menunggu beberapa jam lagi sampai ia sadarkan diri," jawab dokter bedah itu begitu ia membuka masker medisnya. Setelah mengatakan beberapa kalimat, dokter itu kemudian pergi. Beberapa perawat lain kemudian mengambil alih memindahkan Akas ke ruang rawat yang letaknya tak jauh dari sana. Karin, Riris, dan Rendra pun berjalan mengikutinya.

Akas terbaring di ruang rawat tersebut dengan perban yang membungkus kepalanya. Ia masih belum siuman sejak pingsan di rumah Dokter Saras tadi. Pandangan mereka bertiga tidak pernah lepas dari Akas yang masih belum sadarkan diri itu. Perasaan khawatir jelas terpancar.

"Karin, untuk apa kalian pergi ke rumah Dokter Saras? Apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Rendra sambil memfokuskan pandangannya pada adik angkatnya itu.

"Akas hanya ingin bertemu ibu pantinya dulu. Kami juga sama sekali nggak menyangka kalau akan terjadi hal seperti ini."

"Seharusnya kamu bilang sama aku kalau mau pergi. Jadinya kalau ada apa-apa, aku bisa langsung ke sana," ucap Rendra tanpa dijawab oleh Karin. Kemudian ia menoleh ke arah Riris yang tak hentinya memandangi Akas. "Ris."

"Eh, kenapa?"

"Jagain adik gue, ya. Gue mau beli makanan dulu."

"Ohh, oke."

"Karin, aku keluar sebentar, ya."

Karin menangapi ucapan Rendra dengan anggukan pelan. Setelah itu, baru Rendra pergi keluar dari ruang rawat.

Setelah kepergian Rendra, Karin dan Riris sama-sama bungkam. Tidak ada salah satu dari keduanya yang ingin memulai pembicaraan. Riris fokus dengan Akas. Sementara Karin lalu memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada kursi sofa yang ada di sana. Matanya tiba-tiba mengantuk. Tidak butuh waktu lama, ia pun tertidur.

...

Karin membuka matanya berat. Ia nampak tertidur di rerumputan. Kepalanya terasa pening, tetapi ia memaksakan diri untuk bangkit. Setelahnya ia celingak-celinguk melihat sekeliling. Ada jalan setapak di sana.

Karin lalu melangkah gontai, menyusuri jalan setapak di depannya itu yang seakan tak berujung. Di kanan kirinya adalah pepohonan pinus yang menjulang tinggi.

"Karin ... Karin...."

Karin menoleh ke belakang begitu mendengar namanya dipanggil. Namun, di sekitar tempatnya berdiri sama sekali tidak dijumpainya seorangpun menampakkan wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan langkahnya.

Setelah beberapa langkah yang panjang, Karin sampai di sebuah pondok tua di tengah hutan. Seorang nenek renta tersenyum padanya. Ia adalah Nyi Kanthil, istri Mbah We.

"Piye, Nduk? Apa sing marai kowe sowan mrene?" tanya Nyi Kanthil dengan senyum hangatnya yang mengembang lebar.

"Kapan Simbah Putri akan kembali lagi ke rumah?"

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang