14. Santet

43 7 0
                                    

"Saya nggak tahu bisa membantu atau nggak," ucap Dokter Irwan tiba-tiba.

Akas memandangi Dokter Irwan dengan bingung. Ada yang aneh pada dokter yang satu itu. Ia punya kharisma yang begitu mencurigakan. Pasti Dokter Irwan bukan dokter biasa. Benar-benar lain.

"Nggak usah memikirkan yang aneh-aneh tentang saya seperti itu." Dokter Irwan terkekeh pelan sehingga membuat Akas semakin bingung. Kemudian Akas menyipitkan matanya memandangi Dokter Irwan. Namun, senyum Dokter Irwan malah membuat Akas bergidik ngeri.

"Nama saya Irwan Masaji, panggil saja Kak Irwan. Kamu Akas, kan?" Dokter Irwan mengulurkan tangannya. Dengan canggung, Akas menjabat tangan dokter lajang itu.

"Ah, sudah jelas." Dokter Irwan melepaskan jabat tangannya dari Akas sambil tersenyum yang tidak bisa diartikan dengan satu kata.

"Ck." Akas berdecak sebal. Ia tidak suka ada orang yang tersenyum ramah seperti itu kepadanya. Baginya, tidak ada senyum yang tulus. Senyum adalah kebohongan.

"Iya, saya mengerti. Kamu nggak suka melihat saya sering tersenyum seperti ini, kan? Haha." Dokter Irwan tertawa pelan. "Omong-omong coba kamu sering tersenyum. Itu melegakan hati," sambungnya.

Akas kembali dibuat kaget. Padahal ia belum bilang apapun kepada Dokter Irwan kalau ia tidak suka melihat orang yang sering tersenyum. Tapi, dokter itu sudah lebih dulu tahu.

"Nggak perlu bertingkah aneh begitu. Saya juga nggak bermaksud mengetahui apa yang ada di pikiran kamu, kok."

"Jangan baca pikiran aku!" ucap Akas kesal.

"Nggak. Tadi nggak sengaja." Dokter Irwan kembali tertawa singkat.

"Kak Irwan itu sebenarnya siapa? Kak Irwan itu dukun, paranormal, atau cuma pura-pura jadi paramedis?"

"Sudah jelas saya ini dokter. Kamu nggak percaya? Mau lihat ijazah saya?"

"Nggak perlu. Aku mau mendengar dari Kak Irwan langsung."

Dokter Irwan mengangkat sebelah alisnya. "Mendengar apa?"

"Kak Irwan tadi bilang sendiri soal aku yang macam-macam dengan kutukan itu. Darimana Kak Irwan tahu? Apa Kak Irwan benar-benar paranormal?"

"Jangan menyebut saya begitu. Rasanya nggak enak didengar."

"Tapi, memang benar, kan?"

"Ya. Mau bagaimana lagi," Dokter Irwan menghela nafasnya pelan. Lalu mengalihkan pandangannya ke tirai yang menutupi mayat Rendra dan Riris. Wajahnya seketika berubah kecut. "Sudah jadi takdir saya seperti ini. Padahal saya nggak meminta dan saya juga nggak mau. Tapi, mustahil untuk menolak atau menghindari."

"Maksud Kak Irwan?"

"Saya tahu semuanya."

"Lalu bagaimana dengan iblis itu? Kak Irwan juga tahu?"

"Iya, saya tahu. Sebenarnya iblis itu kan yang membunuh kedua teman kamu?"

"Jadi, Kak Irwan juga tahu soal itu? Lalu kenapa Kak Irwan nggak datang buat nolongin kami?" Akas menaikkan nada suaranya.

"Kenapa kamu nggak bertanya seperti itu pada diri kamu sendiri? Kenapa malah bertanya kepada saya?" Pertanyaan Akas ditanya balik oleh Dokter Irwan. Akas mati kata.

"Andai aku tahu kalau itu akan terjadi. Andai aku nggak meninggalkan mereka semalam. Iblis itu pasti tetap akan terus mengincar kami, kan?"

"Ya, saya rasa begitu."

"Lalu kenapa Kak Irwan tenang saja? Bukankah kita berada di masalah yang sama? Karena kita sama-sama tahu tentang iblis itu, kita pasti diincar olehnya, kan?"

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang