25. Perasaan

37 6 0
                                    

Di depan Akas, berdiri sebuah rumah Joglo yang keadaannya masih sama sejak pertama kali Akas datangi. Dan sekarang, sudah kedua kalinya ia datang ke rumah itu. Cahaya matahari siang menusuk lembut pelupuk matanya, menyilaukannya dan membuat Akas sedikit menyipitkan matanya. Akas masih berdiri memandangi rumah itu dari jauh. Ia masih menguatkan niatnya untuk bertemu gadis itu. Ia sedikit ragu.

Akas lalu melangkahkan kakinya pelan memasuki halaman rumah itu. Mungkin ini akan menjadi hal yang paling memalukan bagi Akas karena masih mau menemui Karin setelah kejadian semalam. Tapi, mau bagaimana lagi. Semua kunci itu ada pada Karin. Akas harus menyelesaikan masalahnya secepat mungkin. Persetan dengan gengsi.

Akas mengetuk pintu kayu rumah Karin tiga kali. Perasaannya sudah jauh lebih tenang. Kemudian Akas mendengar suara langkah kaki mendekati pintu. Tak lama pintu itu pun terbuka, menampakkan seorang gadis menghampiri Akas tanpa ekspesi. Akas bersyukur, gadis itu baik-baik saja dan tidak ada hal aneh yang terjadi padanya.

"Maaf." Kata itulah yang pertama kali Akas ucapkan. Karin pun hanya mengangguk sekilas pertanda paham. Kemudian Karin mempersilakan Akas untuk duduk di kursi pendhopo.

Mereka berdua duduk berhadapan satu sama lain, hanya terhalang meja bundar yang ada di tengahnya. Lalu Akas menunjukkan kalung Dayu kepada Karin yang semula ia sembunyikan di dalam bajunya. Karin pun bisa melihat kalung berbandul hati itu dipakai oleh Akas. Terkejut? Tentu. Karin melihat Akas dengan membulatkan matanya lebar. Wajahnya  terlihat begitu polos memandangi Akas di depannya.

"Nggak usah segitunya lihatin gue." Akas terkekeh pelan. Namun, suara kekehannya mungkin tidak terdengar bagi Karin karena saking pelannya.

"Kamu dapat dari mana?"

"Dayu."

"Dayu? Darimana kamu tahu soal Dayu?"

"Gue tahu banyak tentang dia."

"Kamu bohong, kan?"

"Apa muka gue kelihatan bohong?"

Akas mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Karin sambil memicingkan matanya berusaha meyakinkan Karin kalau dirinya sedang tidak berbohong.

"Gue nggak ketemu dia secara langsung, sih. Gue hanya dikasih tahu dimana tempat Dayu meletakkan kalungnya." Akas menempatkan tubuhnya kembali ke posisi semula. "Lewat mimpi. Dan ternyata, lo juga kenal dia, ya."

Karin memalingkan wajahnya. Ia sedikit meragukan ucapan Akas. Tapi, Karin tidak bisa menyangkalnya. Kalung Dayu yang Akas pakai sudah membuktikan kalau setiap ucapan Akas benar, tidak bohong.

"Sudah tiga tahun lalu. Kenapa Dayu bisa datangin kamu?" Karin kembali menoleh ke arah Akas.

"Nggak cuma Dayu aja yang pernah datangin gue, Mbah We juga pernah, termasuk iblis itu. Sudah sejak awal gue ketemu kakek lo. Bahkan...." Akas menjeda kalimatnya dan berdehem pelan. "Apa lo gadis yang tabrakan sama gue di bandara waktu itu?"

Karin segera menggeleng cepat. Tentu tidak mungkin.

"Aku nggak pernah meninggalkan desa ini, terutama sejak tiga tahun lalu." Karin menekankan suaranya di kalimat terakhir.

"Oke, oke." Akas membenarkan posisi duduknya.

"Apa mungkin, waktu itu yang kamu lihat doppelganger-nya aku aja?" lanjut Karin menerka-nerka.

"Doppelganger?" Akas menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa?"

"Sebagai pertanda kalau kamu akan bertemu aku."

"Terlalu mustahil." Akas menghela nafasnya. "Lo punya kuncinya, kan?"

"Kunci apa?"

"Bandul kunci di kalung lo itu."

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang