19. Kutukan

41 7 0
                                    

BUAKKK!!!

Kapak itu terpental, terpukul oleh balok kayu yang dibawa oleh seorang kakek tua. Nafasnya tampak tersengal-sengal, akibat ia memaksa berlari. Satu detik saja ia telat datang, dipastikan Dayu sudah mati terpenggal.

"Aja ganggu putuku!" seru Mbah We kepada iblis itu. Namun, iblis itu malah tertawa mengejek, memuakkan telinga.

"Hahaha. Keturunan Aruna, kita delok sapa sing bakal mati!" Iblis itu berseru. Lalu mengambil balik kapaknya yang menancap pada batang pohon pinus. Kemudian ia melayang ke arah Mbah We.

Mbah We bersiap-siap akan serangan iblis itu. Tangannya yang keriput tak mengendurkan kekuatannya. Tatapan matanya benar-benar berambisi untuk melawan iblis itu. Mbah We sudah siap.

"Mlayuo, Dayu!!!" teriak Mbah We kepada Dayu.

Dayu seketika menangis mendengar perintah kakek tua itu. Kenapa Mbah We serela ini menghadapkannya pada bahaya demi menyelamatkan Dayu? Bagaimana bisa kakek tua itu tiba-tiba datang?

Dayu mencoba bangkit. Derai air matanya tak tertahan. Ia menangis di balik hujan yang terus mengguyurnya. Ia berjalan tertatih-tatih menjauhi tempat itu, sementara Mbah We bersusah payah menangkis kapak si iblis hanya dengan balok kayu yang dibawanya.

"Mbah! Terima kasih! Saya akan mencari bantuan! Saya pasti akan kembali!" teriak Dayu sambil memandangi Mbah We dari kejauhan. Namun, teriakannya teredam petir yang menyayat-nyayat langit.

"Ora usah balik mrene. Jaganen putuku, jaganen Karin. Aku bakal musnahake iblis iki, banjur aku sing bakal balik mrana."

"Manungsa bedebah! Sakmestine kowe kabeh ora pernah diciptakake!" Iblis itu menyahut dengan suara lantang.

"Terkutuk golonganmu iblis!!!"

Melihat iblis itu sedang lengah, Mbah We segera menusukkan keris yang sedari tadi disembunyikannya ke punggung iblis itu. Akibatnya, iblis itu menjadi tidak bisa bergerak.

"Matio...."

"Kowe ora bisa mateni aku nganggo cara iki. Mung wong sing ora keturunan kulawarga Aruna sing bisa mateni aku!"

"AAAAAKKKKK!!!" Lalu ia berteriak kencang, membuat Mbah We dan Dayu terpental bersamaan karena iblis itu. Keris milik Mbah We pun hancur tak berbentuk.

"Manungsa iku lemah, pendosa, lan dremba. Bisane mung luru bandha lan tahta. Kepengen urip karyenak ananging wegah ngupaya. Sadaro, derajate kowe kabeh luwih endhek saka aku!" lanjutnya berseru.

"Ora padha! Justru derajat iblis sing luwih endhek. Umukmu marakake derajatmu endhek," sahut Mbah We lebih lantang.

"HAHAHAHA." Iblis itu kembali tertawa keras. Pepohonan dibuat bergoyang-goyang karenanya. Suara gelegar petir makin menggema, seakan seluruh alam ada di bawah kendali iblis itu.

"Apa kowe ora sadar? Amarga awakku, urip kulawargamu mulya. Hartamu kabeh amarga aku. Saiki aku njaluk bagianku. Aku mung pengen keabadian. Aku butuh tumbal. Ananging, kowe ora bisa menehi. Dadi aku kudu luru dhewe. Aku k mateni awakmu! Aja ngalangi aku!"

Iblis itu melesat ke arah Mbah We, tentu dengan menggenggam kapak yang senantiasa ada di tangannya. Mbah We menyeret tubuhnya untuk menghindar, kemudian komat-kamit membaca mantra. Iblis itu langsung mengerang kepanasan begitu mendengarnya.

"AKKK!!! PANASSS!!!"

"Ora bakal ana sing abadi, kajaba Gusti ingkang Maha Kuasa kang wis nyiptakake sakabehane. Kowe bakal musnah saiki!"

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang