23. Korban

47 6 0
                                    

Di situlah Dokter Irwan sampai. Rumah kayu yang atapnya sudah roboh. Semuanya hangus terbakar. Hanya menyisakan puing-puing kayu dan abu gosong menghitam di sekeliling tanahnya. Seharusnya sekarang ada rumah yang berdiri, seharusnya kedua orangtuanya memeluknya erat ketika ia tiba, seharusnya adiknya menyapa Dokter Irwan hangat untuk menyambut kedatangannya. Seharusnya seperti itu, seperti biasanya ketika Dokter Irwan baru pulang ketika libur kuliahnya. Tapi, sekarang semuanya sudah hancur. Semuanya sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah menjadi abu dan tidak akan pernah kembali seperti sedia kala.

Di mana ketiga orang itu? Apa mereka selamat? Di mana? Dokter Irwan kembali menangis. Ia berlari mendekati rumahnya yang sudah sepenuhnya hancur itu. Tidak ada yang tersisa. Sama sekali tidak ada. Dokter Irwan bersimpuh. Ia membungkukkan tubuhnya putus asa. Kalau saja malam tadi dirinya pulang ke rumah pasti keluarganya akan selamat. Namun, ia terlambat. Semuanya mati. Keluarganya sudah meninggalkannya.

"Kak Irwan?" Sebuah suara memanggil Dokter Irwan yang sedang menangis itu. Dokter Irwan pun segera menoleh. Suara yang memanggilnya barusan sungguh melegakannya, setidaknya ia masih punya satu orang untuk dijaga.

"Dayu!"

Dokter Irwan langsung menghampiri Dayu yang berdiri tidak jauh darinya. Ia berlalu menghambur memeluk adiknya itu. Tampak kedua lengan dan kaki Dayu terbalut perban sementara di wajahnya tertempel beberapa plester.

"Kak Irwan pikir kamu juga ninggalin Kakak."

"Nggak, Kak. Dayu di sini. Maafin Dayu karena nggak bisa nolongin Ibu sama Bapak. Mereka udah meninggal, Kak." Air mata Dayu seketika luruh.

"Ini semua salah Kak Irwan. Seharusnya semalam Kak Irwan pulang. Kak Irwan sangat menyesal. Maafin Kakak."

"Beruntung Kak Irwan nggak ada di rumah semalam. Aku takut kalau Kak Irwan di rumah, Kak Irwan akan bernasib sama seperti Ibu dan Bapak. Dayu takut sendirian."

"Tapi, Kak Irwan jadi nggak bisa menyelamatkan Ibu dan Bapak, Dayu. Kak Irwan begitu lemah, Kak Irwan pengecut."

"Nggak, Kak."

Dayu melepaskan pelukannya dari Dokter Irwan. Mata hijaunya tak henti menitikkan air mata. Namun, ia berusaha mengukir senyum setulus-tulusnya kepada kakaknya itu. "Kak Irwan hebat, Kak Irwan udah mau kembali lagi ke sini. Aku nggak tahu semalam Kak Irwan di mana. Aku pikir Kak Irwan nggak akan kembali lagi setelah bertengkar sama Bapak. Tapi, hari ini aku lega sekali Kak Irwan kembali. Kak Irwan nggak membiarkan aku sendirian. Aku masih beruntung walaupun aku kehilangan Ibu dan Bapak, aku masih punya Kak Irwan. Nggak ada yang bisa disalahkan, Kak. Memang hari ini sudah waktunya Ibu dan Bapak pulang. Kita doakan saja semoga mereka tenang di sana."

"Terima kasih, Dayu. Kak Irwan sungguh beruntung memiliki adik sebaik kamu. Kamu segalanya bagi Kak Irwan. Pantas saja Ibu dan Bapak begitu menyayangi kamu."

"Ibu dan Bapak menyayangi aku karena aku anak pungut. Mereka takut kalau aku pergi, karena katanya aku dipercaya sebagai anak pembawa keberuntungan bagi mereka. Padahal sebenarnya aku hanyalah anak pembawa sial bagi orangtua kandungku."

"Kamu jangan berbicara seperti itu. Bagaimanapun juga, kami menyayangi kamu seperti anggota keluarga kami sendiri."

"Tapi, aku sangat berbeda dari kalian. Terlebih dengan mata hijau ini." Dayu menghela nafas panjang. "Ada yang ingin aku katakan sama Kak Irwan. Waktu kita kecil dulu, sebenarnya aku juga melihat hantu anak kecil laki-laki yang selalu mengikutiku. Tapi, aku hanya diam karena Ibu dan Bapak nggak mungkin percaya. Dan aku juga nggak percaya sama hal seperti itu. Ternyata kita sama-sama mempunyai kemampuan itu walaupun kita nggak sedarah."

"Benarkah itu? Kakak nggak tahu kalau selama ini ternyata kamu juga mempunyai kemampuan seperti Kakak."

"Ya. Tapi, aku nggak menginginkannya."

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang