17. Permata Hijau

47 7 13
                                    

"Aku pikir kamu nggak bisa bahasa Indonesia."

"Tentu bisa meskipun kebanyakan orang di sini memakai bahasa Jawa."

"Iya. Lagipula aku juga nggak begitu fasih kalau ngobrol pakai bahasa Jawa."

Dayu menggaruk belakang kepalanya sambil tertawa kikuk, sementara Karin tersenyum tipis.

"Di sekitar sini ada swalayan nggak? Aku mau belanja makanan," lanjut Dayu.

"Adanya pasar. Kalau kamu mau, aku bisa anterin."

"Oh. Oke, nggak apa-apa. Tapi, kita ke vila dulu buat ngambil mobil."

Karin mengangguk.

Pasar itu tak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu 15 menit perjalanan dengan mobil. Kondisinya juga tidak terlalu buruk. Kebersihan masih diperhatikan di tempat itu.

Dayu sempat bingung. Dirinya tidak mungkin membeli bahan makanan mentah. Ia tidak bisa memasak. Jadi, mereka berputar-putar dulu mencari penjual yang menjual makanan instan.

Tidak butuh waktu lama, mereka pun menemukan sebuah toko yang kelihatan lebih modern dibandingkan toko lainnya. Toko itu menjual berbagai kebutuhan. Tak hanya makanan instan saja, tapi juga sabun, perabot rumah tangga, bahkan juga ada cenderamata antik. Pemiliknya seorang kakek tua yang kira-kira umurnya sepantaran dengan Mbah We.

Dayu masuk ke toko itu, sementara Karin ijin untuk membeli bahan makanan mentah di depan toko yang Dayu masuki. Di sana, Dayu membeli bermacam barang. Lalu setelah dirasa cukup, ia segera beranjak untuk membayar.

Ketika sampai di depan kasir, tanpa sengaja Dayu menoleh ke rak cenderamata antik. Ia mendapati dua buah kalung yang masing-masing berbandul permata hijau. Kalung itu menarik perhatian Dayu.

Kemudian Dayu mendekati kalung itu. Ada sebuah kalung dengan bandul berbentuk hati yang dihiasi permata hijau tampak berkilau terpapar cahaya lampu. Di tengah kalung itu ada lubang untuk memasukkan kunci dari kalung yang satunya, kalung yang bandulnya berbentuk kunci dengan permata hijau yang sama. Dayu pun berniat menghadiahkan kalung itu kepada Karin.

"Tambah ini ya, Kek."

Kakek penjual yang sedang sibuk menghitung total belanjaan Dayu itu pun terpaksa menoleh ke arah Dayu. Ia membenarkan sejenak letak kacamatanya yang setengah melorot baru dapat ia lihat dua buah kalung antiknya ingin dibeli oleh Dayu.

"Panjenengan yakin mau nyade?"

"Iya, Kek. Kalungnya bagus. Harganya berapa?"

"Iku dudu sembarang kalung. Kalung iku rada dikeramatake."

"Jadi, nggak dijual?"

"Apa panjenengan sanggup dadi majikan kalung iku?"

"Maksudnya, Kek?"

"Nek panjenengan ora paham mending ora usah tuku."

"Saya akan bayar berapapun. Berapa harganya?"

"Kalung iki ora bisa dituku mung nganggo dhuwit."

"Terus apa?"

"Ben tak jelasake dhisik. Kalung iki dudu sembarang kalung. Kalung iki bisa dadi penangkal sapa wae sing duwe niat ala karo sing duweni. Ananging sing duweni kudu bener-bener bisa njaga kalung iki. Aja nganti pindah tangan ing wong sing salah. Apa maneh pindah tangan ing iblis sing asring ngupaya kanggo nyolong kalung iki.

"Permata hijau ing kalung iki arupa mustika akik sing langka, duwe kekuatan ingkang bener-bener kudu dingati-ngatini. Saben malem Jumat, panjenengan kudu ngadusi kalung iki nganggo kembang 7 rupa. Elingo, aja pisan-pisan nyopot kalung iki. Panjenengan bakal diintai iblis kemawon. Kalung iki uga bisa gawe panjenengan weruh sing durung mesti uwong liyo weruh," jelas pemilik toko itu panjang.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang