Akas berjalan seorang diri melewati jalanan setapak. Ia menengok ke kiri dan kanan, seraya melihat para petani yang mulai berdatangan ke sawahnya, mencabuti rumput liar yang tumbuh, atau mengusir burung pipit yang mengganggu tanaman padi. Mereka melakukan itu sambil melemparkan senyum kepada Akas ketika saling berpapasan. Akas pun juga balik melemparkan senyum kepada mereka.
Jalanan setapak itu disusurinya dengan pandangan yang terus jatuh ke sekeliling sambil menikmati udara pagi pedesaan yang sungguh menyegarkan. Tidak bisa dipungkiri, suasana di pedesaan seperti inilah yang selalu diidamkannya setiap pagi. Bukannya suara bising knalpot kendaraan ataupun bunyi klakson yang selalu menyambutnya setiap bangun pagi di kota.
Pandangan Akas kali ini tertuju kepada seorang kakek tua di salah satu pinggiran sawah. Kakek itu kemudian menoleh ke arah Akas yang tampak sedang mencuri pandang padanya tersebut.
"Tiyang anyar, Mas?" sapa kakek tua itu terlebih dahulu kepada Akas. Ia sedang merumput di pinggir selokan sawah, atau biasanya disebut galengan.
Kakek itu berperawakan renta. Uban putih tumbuh sempurna di kepalanya. Keriput juga sudah memenuhi wajah dan kulitnya yang berwarna kecoklatan karena terbakar sinar matahari setiap harinya. Umurnya sekitar 71 tahun, tapi ia masih tampak sehat dan kuat.
"Nggih," jawab Akas sekenanya.
"Kowe nginep ning endi?"
"Vila-nya Rendra, Kek."
"Oalah, nggon Mas Rendra, to. Ngati-ati ya, Le."
"Kenapa?"
"Wis tau ana wong ilang ning kono. Ora mulih maneh."
"Hilang?"
"Telung taun kapungkur. Ah, wis. Aja mbahas iku maneh."
Kakek itu segera pergi meninggalkan Akas yang tampak kebingungan. Ia berpindah untuk merumput di bagian lain. Entah apa maksud perkataannya, Akas tidak mengerti kenapa kakek itu mengatakan kalau tiga tahun lalu ada orang yang hilang di vila Rendra dan tidak kembali lagi.
Sudahlah. Akas memilih untuk mengabaikannya saja. Begitu kakek tersebut pergi meninggalkannya, ia ikut pergi pula.
Cacing di perut Akas mulai meronta-ronta. Maklumlah karena sedari pagi perutnya belum terisi apapun. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bergegas kembali ke vila sambil menahan rasa lapar dan perutnya yang mulai perih. Sepertinya maagnya kambuh.
Namun, di tengah jalan, tanpa sengaja ia bertemu gadis itu lagi. Karin. Ia tampak berjalan menuju ke arah vila. Tapi, bukankah tadi ia berada di vila? Lalu darimana ia?
Akas mengikuti Karin yang berjalan seorang diri itu. Diam-diam Akas mengekor di belakangnya sambil memantau gerak-geriknya.
Masih sama. Terus seperti itu. Karin memang berjalan menuju arah vila. Namun, keanehan mulai muncul ketika ia berbelok ke arah lain. Menembus semak belukar, berjalan ke arah hutan pinus yang tak seharusnya dijamah. Akas masih terus mengikutinya. Penasaran dengan apa yang akan dilakukan Karin.
Langkah Karin membawanya hingga sampai di sebuah gubuk tua yang tampak reyot bangunannya. Terhimpit oleh semak belukar dan dipenuhi tanaman liar yang menjalar di gentengnya.
Bahkan rumput ilalang tumbuh sedemikian tinggi sampai-sampai menutupi tanah untuk berpijak, membuat Akas harus susah payah mencari tanah yang tepat untuk dipijaknya agar tidak menginjak batu atau kerikil. Lebih parahnya lagi ular atau hal lain yang berbahaya baginya. Kemudian ia bersembunyi di balik salah satu pohon pinus tepat ketika Karin sudah menghentikan langkahnya dan berdiri di teras gubuk.
Karin berniat masuk. Ia tampak mengetuk pintu gubuk beberapa kali. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti. Ia terusik oleh suara gemerisik di belakangnya. Karin pun menoleh, lalu menangkap sosok Akas yang tengah bersembunyi di balik pohon pinus. Sial. Akas tertangkap basah telah membuntuti Karin.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELANA
Horror[COMPLETED] Gadis itu berkalung permata, dengan sebuah kunci kecil berhiaskan berlian hijau menggantung sebagai bandulnya. Kalung itu membuka gerbang ke dunia lain. "Selamat datang." Diwangka Akasa. Dirinya tidak menyadari, jika kedatangannya ke seb...