48. Gadis Istimewa

24 3 0
                                    

Pada suatu malam, hujan tampak mengepung mereka yang hanya tinggal berdua di dalam rumah. Kilat menyambar-nyambar dengan ganasnya pepohonan pinus yang ada di sekitarnya, membuat siapapun akan bergidik ngeri kala itu. Karin sudah tidur di kamarnya. Hujan badai seperti itu sama sekali tidak mengusik tidur lelapnya. Sementara Mbah We menemani Karin yang tengah tertidur itu dengan pandangan mata sayu.

Mbah We sudah menimang-nimang semua sesuai perhitungan Jawa-nya, bahwa pada malam ini iblis itu akan datang untuk membalaskan dendamnya. Mbah We tidak henti-hentinya berdzikir. Bagaimanapun juga ia harus melindungi dirinya dan cucunya, paling tidak sampai Karin sudah cukup dewasa untuk hidup tanpa Mbah We.

Suara hantaman di pintu kamar terdengar begitu keras, sampai-sampai membuat Karin terlonjak bangun dari tidurnya. Beruntung pintu tersebut telah dikunci sehingga ‘sesuatu’ yang berusaha masuk tersebut tidak gampang membukanya.

Mbah We langsung menghampiri Karin yang tampak meringkuk ketakutan di kasur. Ia lalu menepuk-nepuk pundak Karin pelan berusaha menenangkannya. Dan bukannya berhenti, hantaman tadi terdengar semakin kuat karena ‘makhluk itu’ terus memaksa masuk.

"Apa itu, Mbah?" tanya Karin yang wajahnya mulai pucat pasi.

"Ora apa-apa, Ngger. Namung angin."

"Aku takut."

Mbah We kembali menepuk-nepuk pundak Karin. "Turuo wae."

Bukannya menuruti perintah kakeknya, Karin malah menggeleng.

"Aku mimpi lagi."

"Kepiye maneh?"

"Orang itu menyeret Ayah dan Ibu pergi, lalu membuangnya ke suatu tempat yang panas sekali. Ayah dan Ibu minta tolong. Ada Buyut Kakung, Buyut Putri, Simbah Putri, dan Simbah Melati di sana. Sebenarnya mereka ada dimana?"

"Ngger, kowe ora perlu sumelang karo perkara kuwi."

"Lalu kenapa Ayah dan Ibu belum pulang."

"Ayah Ibumu wis mulih, mulih ning papan sing luwih becik tinimbang ning kene. Impenmu iku ora nyata, iku ulah setan sing nyoba gawe pikiranmu bingung."

"Pulang kemana? Ini kan rumah mereka. Kenapa mereka malah pulang ke tempat lain?"

"Wis, wis, Ngger. Saka saiki, kowe bakal urip bareng Simbah."

"Kenapa mereka tidak pulang ke sini saja? Aku rindu sekali." Karin mulai meluruhkan air matanya. Ia masih belum mengerti kenapa orangtuanya tidak juga kembali menemui mereka.

"Apa Ayah dan Ibu sudah meninggal?" lanjut Karin.

Mbah We tidak menjawab, ia hanya diam. Air matanya yang tiba-tiba menetes itu langsung diusapnya agar tidak jatuh mengenai kepala cucunya. Sekarang Karin mengerti ucapan kakeknya, bahwa ayah dan ibunya sudah benar-benar pulang, pulang ke rumah Sang Pencipta. Karin langsung terisak. Ia memeluk erat kakeknya yang duduk di sebelahnya. Hantaman di pintu yang terdengar berkali-kali pun sama sekali tidak mereka hiraukan.

BAMMM!!!

Pintu kamar Karin mendebam dengan keras. Iblis itu telah berhasil membuka paksa pintu tersebut. Kini ia menampakkan rupanya yang begitu mengerikan. Karin tak kuasa menjerit. Ini adalah kali pertamanya melihat penampakan langsung semengerikan itu. Mbah We pun langsung menyembunyikan tubuh Karin di belakangnya agar Karin tidak melihat iblis itu lebih lama.

"Mbah…," rengek Karin di belakang kakeknya. Sementara Mbah We terus menggenggam tangan Karin dengan erat lalu berusaha mengusir iblis itu.

"Aja ganggu putuku!"

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang