36. Clara

23 2 0
                                    

Aroma lavender menyeruak lembut masuk ke hidung mungil milik Akas. Untuk anak seusianya yang baru berusia 12 tahun, membedakan bebauan adalah hal termudah dalam memanfaatkan panca inderanya. Hidung tidak akan pernah memiliki cacat untuk membau. Lain halnya dengan panca indera yang lain. Mata bisa buta, telinga bisa tuli, lidah dan kulit bisa mati rasa. Sementara Clara ada di pilihan yang pertama, ia buta.

Sedari tadi Akas terus membau aroma rambut milik Clara. Aroma bunga lavender favoritnya. Tidak tahu sejak kapan Akas suka aroma itu, yang jelas Akas mengenal aroma itu semenjak dekat dengan Clara. Selama ini Akas tidak pernah tahu bau apa saja yang ada di dunia ini. Semuanya hampa. Akas hanya memanfaatkan indera matanya untuk menangis selama bertahun-tahun.

Mereka berdua duduk di taman panti, seperti biasa, hal itu sudah mereka lakukan selama beberapa bulan terakhir ini. Rumput ilalang yang pendek menjadi alas mereka duduk. Clara tampak menatap kosong ke arah depan, sedangkan Akas menemani di sampingnya dan masih setia membau rambut kecoklatan milik Clara. Clara bisa merasakan nafas Akas yang berulang kali berhembus menerpa rambut miliknya. Ia lebih memilih tersenyum untuk menanggapinya tanpa ingin mengusik Akas.

"Ba!"

Sebuah suara gertakan mengagetkan mereka berdua. Seorang anak laki-laki seumuran Akas tersenyum menampilkan deretan giginya. Ia duduk di samping Clara, membawakannya sebuah apel merah yang begitu menggiurkan.

"Tuan putri kalau makan apel merah jadi makin cantik, deh." Anak laki-laki yang baru saja datang dengan lihainya menggerakkan pisau dan memotong apel menjadi enam bagian. Padahal untuk anak seusianya, bermain pisau adalah hal yang sangat membahayakan. Tapi, bagi anak kecil tadi, pisau adalah mainan sehari-harinya. Apalagi beberapa bulan lalu ia sempat mengkuliti habis tubuh ayahnya.

Mengupas apel merah mengingatkannya bagaimana ia membunuh ayahnya. Hidungnya dengan jelas masih bisa mengingat bau darah yang dikeluarkan ketika pisaunya bergerak kesana kemari di atas potongan daging kenyal berwarna merah muda. Setelah selesai memotong apel dan mengupasnya, ia lalu memberikan sepotong apel itu kepada Clara. Ia menyuapinya perlahan. Namun, anak laki-laki tadi tidak memberikan sisa potongannya kepada Akas. Ia sudah tahu kalau Akas tidak suka apel.

"Mau aku ceritakan bagaimana aku bermain-main dengan ayahku?"

"Gerri, kamu sudah menceritakannya berulang kali hingga membuat Clara ketakutan," sela Akas terhadap ucapan teman laki-lakinya yang baru datang beberapa bulan lalu, Gerri.

"Aku tahu. Aku hanya suka saja menceritakannya berulang kali."

"Simpan cerita itu untuk dirimu sendiri."

"Lalu bagaimana dengan ibuku? Apa kalian juga nggak ingin mendengarnya?"

"Kamu juga sudah sering menceritakan hal itu berulang kali." Kali ini Clara yang menyela.

"Yahh, aku nggak punya cerita lain lagi untuk diceritakan," keluh Gerri sambil memakan habis dua potongan apel di piring kecilnya.

"Apa ibumu nggak pernah menceritakan dongeng sebelum tidur?"

"Hei hei, aku nggak suka kalian membahas tentang ibu ataupun ayah." Akas kembali menyela, kali ini menyela pertanyaan Clara. "Kita semua sudah nggak punya ayah sama ibu. Aku nggak suka kita membahas kenangan dengan mereka. Semuanya buruk."

"Kalau aku sih lebih baik menjadi Akas, orangtuanya mati sendiri, jadinya kan nggak perlu repot-repot membunuh."

"Gerri, Akas. Jangan bicara begitu. Seharusnya kita berterima kasih kepada orangtua kita." Clara menengahi.

"Berterima kasih katamu? Itu sangat menjijikan. Kamu tuan putrinya di sini, kamu memang pantas berterima kasih kepada mereka. Sedangkan kami, terima kasih hanyalah kata umpatan sebagai kata yang mewakili perasaan kami bertahun-tahun, maksudnya terima kasih atas penyiksaan yang telah kami dapatkan dari mereka."

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang