2. Putri Salju

99 12 4
                                    

"Selamat datang di Vila Rendra." Rendra menunjukkan sebuah bangunan besar yang kokoh berdiri di pinggir kaki bukit.

Vila. Bangunan itu selalu terdengar mengerikan. Bangunan yang sering tidak dihuni, teronggok untuk waktu yang sangat lama, dan tak jauh dari kata 'berdebu'. Definisi itu pun juga mendeskripsikan vila milik Rendra. Vila kayu yang berdiri di kaki bukit, dengan sisi kirinya mengalir sungai utama di desa itu. Di kanan dan belakang vila tumbuh hutan pinus yang lebat tanpa adanya satupun rumah penduduk.

Sedangkan di depan vila terhampar sawah yang padinya masih menghijau, menyelimuti sebagian besar desa yang rata-rata penduduknya adalah petani. Cukup menenangkan karena beberapa orang yang sedang bekerja di sawah dapat terlihat dari vila. Jadi, vila itu tidak terlalu terkesan mengerikan walaupun letaknya hampir di ujung desa.

Vila itu seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Ukurannya tentu lebih besar dari rumah-rumah biasa warga pada umumnya. Yang disayangkan, vila itu tampak tidak terawat. Debu melapisi sudut bangunan manapun, cat kayunya mulai luntur dan mengelupas, adapun pagar kayunya rapuh akibat dikerikiti rayap.

Pun sampah dedaunan menumpuk di halaman. Tampak gersang dengan rumput ilalang yang tumbuh meninggi sebatas tumit kaki. Sementara dari dalam vila, tidak ada cahaya apapun yang keluar. Malah sebaliknya, cahaya senja yang memaksa menyelinap masuk menembus kaca yang kusam. Adakah orang di dalam?

"Vila segede ini nggak ada yang ninggalin ya, Ren? Sayang banget sih sampai kotor begini," ucap Riris sambil menendang daun kering yang menghalangi langkahnya ketika berjalan masuk menuju halaman vila itu.

"Ya mau gimana lagi. Gue kan tinggal di kota, orangtua gue di luar negeri. Cuma adik gue yang tinggal di desa ini. Tapi, dia tinggal di rumahnya, nggak di vila," jawab Rendra menjelaskan.

"Lho? Lo punya adik? Kok nggak pernah cerita?"

"Hehe. Soalnya gue udah lama nggak ketemu sama dia, jadi lupa."

"Bego." Riris menoyor kepala Rendra sampai membuatnya terhuyung. "Kenapa dia nggak sekalian tinggal di kota aja sama lo?"

"Dia nggak mau ngelanjutin kuliah di kota. Dia lebih milih untuk tinggal di sini," jawab Rendra singkat.

"Gitu, ya." Riris menanggapinya dengan gumaman panjang. Kemudian pandangannya tertuju pada seseorang yang tiba-tiba keluar dari dalam vila.

Seorang gadis menampakkan dirinya. Ia keluar dari dalam vila yang tampak tak menyorotkan cahaya apapun tersebut.

Rambutnya panjang dikuncir dua. Poninya menutupi matanya yang bulat dengan pupilnya yang sehitam rambutnya. Bibir gadis itu merah, namun pucat seperti kulitnya. Ia mengenakan dress dengan atasan yang berwarna biru dan bawahan pendek berwarna kuning cerah, persis seperti Putri Salju. Terlihat pula ia mengenakan sebuah kalung yang bandulnya ia masukkan ke dalam bajunya. Ia memandang mereka bertiga dengan wajah datar tanpa senyum.

Mereka bertiga lalu melangkah mendekati gadis itu. Sang gadis pun langsung menunduk. Ia tidak biasa menerima kehadiran orang asing dari luar desa. Sementara Akas, ia terkejut melihat gadis itu. Ia adalah gadis yang tadi ditabraknya di bandara. Jauh di luar kota sebelum mereka sampai di desa ini.

"Kenalin, ini adik gue. Namanya Kayana Raras. Panggil aja Karin," ucap Rendra memperkenalkan adiknya kepada Akas dan Riris.

"Hai, gue Riris Ayu Andara. Panggil gue Riris."

Riris mengulurkan tangannya kepada Karin disertai senyum lebarnya yang hangat. Dengan kikuk, Karin menerima jabat tangan Riris. Kemudian ia mengangguk pelan sambil memaksakan senyumnya. Namun, ia sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun kepada Riris. Entah 'selamat datang' atau 'salam kenal'. Sesegera mungkin ia langsung melepaskan jabat tangannya. Riris tetap tersenyum walaupun mendapati perilaku Karin yang seperti itu.

"Oh, iya. Kalau ini namanya Akas," lanjut Riris sambil menyenggol lengan Akas yang sedari tadi membuang wajah, mengkodenya untuk berkenalan juga dengan Karin.

"Akas," kini Akas yang giliran menjabat tangan Karin dengan terpaksa.

Namun, mengejutkan. Tangan Karin terasa begitu dingin ketika dijabatnya. Gadis itu seperti tidak hidup. Akas yang terkejut langsung melepaskan tangannya dari tangan Karin.

"Kaget banget sih gitu doang. Haha, gue maklumin lo kan paling anti sama cewek," ledek Rendra menyikapi keterkejutan Akas setelah baru saja menjabat tangan Karin.

Akas kembali mengalihkan pandangannya, menatap kosong hutan pinus yang ada di sekeliling vila, berusaha menyembunyikan semua keterkejutannya sore hari ini dan keanehan yang tiba-tiba mengganjal hatinya tentang gadis itu.

"Karin mau pulang atau tidur di sini? Tidur di sini aja, ya?" tanya Rendra dengan nada yang begitu lembut kepada adiknya, berbeda ketika ia berbicara dengan orang lain yang selalu seenak jidatnya saja.

Karin tidak menjawab. Ia menggeleng pelan. Lalu segera pergi dari vila itu tanpa pamit atau berucap apapun kepada mereka bertiga.

"Sorry, ya. Adik gue emang gitu. Dia belum terbiasa sama kehadiran orang baru," jelas Rendra setelah Karin benar-benar pergi meninggalkan vila. Riris mengangguk maklum sementara Akas tidak mempedulikannya. Pikirannya entah berlayar kemana.

"Ya udah. Masuk, yuk. Gue capek. Kita bersih-bersih vilanya dulu." Riris masuk lebih dulu ke dalam vila bersama Rendra, sedangkan Akas membuntuti dengan malas di belakangnya.

...

Mereka bertiga membersihkan vila itu hampir semalaman. Dengan ditemani suara jangkrik dan katak yang tak henti-hentinya mengoceh di luar, membuat suasana malam itu tidak terasa sepi. Riris menyapu debu-debu yang ada, sementara Rendra dan Akas mengepaki rongsokan-rongsokan yang tak terpakai, kemudian menyimpannya di gudang. Kini mereka tengah membersihkan kamar utama.

"Kita tidurnya di kamar utama aja, ya. Ada tiga ranjang di sini," ucap Rendra sembari berjalan masuk ke dalam kamar setelah sekardus rongsokan selesai diletakkannnya di dalam gudang.

"Lho, kenapa? Kamarnya kan ada dua. Yang satunya bisa buat gue terus kalian bisa sekamar berdua," ucap Riris keberatan.

"Iya, sih. Tapi, yang satunya kamar Karin."

"Nggak apa-apa, lah. Karin juga nggak mungkin keberatan kalau gue tidur di kamarnya. Dia kan nggak tidur di vila."

"Jangan. Lebih baik lo tidur di kamar ini juga."

"Tapi, kan kamarnya kosong."

"Tetep aja jangan. Karin nggak akan suka."

"Pasti dia ngebolehin kok." Riris terus ngotot, sementara Rendra terus melarangnya.

"Jangan, Ris. Karin pasti marah."

"Cuma beberapa malam aja, Ren."

"Udah, Ris. Mending lo tidur di sini juga. Ada gue sama Rendra yang jagain. Lo jangan seenaknya masuk privasi orang lain. Kita ini tamu, mending ngalah," sela Akas. Kemudian ia duduk di salah satu ranjang yang dekat dengan jendela dan mengarah langsung ke jalanan setapak.

"Bener tuh kata Akas. Daripada nanti lo kenapa-kenapa di kamarnya Karin. Soalnya kamarnya itu ada di paling belakang, dekat hutan, terus pintunya susah kekunci lagi," tambah Rendra.

"Ck, ya udah deh. Gue ngalah."

Akhirnya Riris luluh juga walaupun dengan sangat terpaksa. Ia kemudian beranjak menuju salah satu ranjang yang ada di kamar itu lalu membaringkan tubuhnya. Riris pun segera memejamkan matanya dan mengabaikan kedua teman lelakinya itu.

"Lah, ngambek. Dasar betina. Haha," ledek Rendra. Namun, Riris sama sekali tidak menanggapinya karena sudah terlanjur sebal.

"Ya udah deh. Gue juga ikut tidur aja," lanjut Rendra lalu juga berbaring di salah satu ranjang lain yang ada di kamar itu. Hanya Akas saja yang masih terduduk. Ia belum berniat tidur. Ia pun hanya memandangi jalan setapak melalui jendela yang sengaja ia sibakkan sedikit gordennya.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang