32. Tersangka

23 3 0
                                    

Karin mendudukkan dirinya di kursi tunggu yang ada di lorong puskesmas. Pintu laboratorium masih tertutup sempurna. Karin sedang menunggu hasil tes DNA yang sedang dilakukan Dokter Saras untuknya, seputar darah dan sidik jari di mawar tadi.

Sudah satu jam berlalu Karin menunggu sendirian di kursi lorong. Puskesmas tampak sepi di pagi hari, terlebih sekarang masih pukul 08.00. Biasanya pasien yang ingin cek kesehatan akan berdatangan mulai pukul 09.00. Paramedis di puskesmas itu juga terbilang sedikit. Hanya ada 15 pekerja pada awalnya yang kini berkurang menjadi 14 karena meninggalnya Dokter Irwan. Secara rinci maka tinggal dua dokter, dua bidan, dan sepuluh perawat yang diantaranya ada pria dan wanita.

Cklek.

Pintu laboratorium terbuka, menampakkan dokter wanita paruh baya yang rambutnya disanggul rapi. Namanya Dokter Saras. Ia adalah orang luar desa. Namun, tempat tinggalnya tidak begitu jauh. Ia juga sudah bersuami, namanya Dokter Surya. Ia bekerja di puskesmas yang sama dengan Dokter Saras.

Sayangnya mereka berdua belum dikaruniai anak walaupun usia pernikahannya yang sudah 10 tahun berjalan. Meskipun begitu, mereka masih sangat bersyukur karena setiap hari bisa merasakan kebahagiaan bagaimana rasanya merawat anak-anak di puskesmas. Tidak hanya itu, mereka juga mengelola sebuah panti asuhan. Sudah bertahun-tahun sekali bahkan sebelum keduanya menikah. Sebut saja, Panti Asuhan Bethari Ratih.

High heels hitam milik Dokter Saras mengiringi langkahnya menapaki setiap ubin putih puskesmas. Dipegangnya secarik kertas yang merupakan hasil tes DNA yang baru saja dilakukannya. Kacamata minusnya melorot hingga ke hidung, segera ia membenarkannya ke tempat semula, menedengi bola mata kecoklatannya dengan polesan maskara hitam tipis. Bibirnya yang kemerahan karena lipstick sudah sedari tadi menyunggingkan senyum. Dokter Saras menatap Karin begitu ramah sebelum pada akhirnya ia mengatakan hasil analisisnya kepada Karin.

"Darah tikus," ucap Dokter Saras langsung ke topik. Ia dapat menebak gerak-gerik Karin yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu hasilnya sedari tadi.

Karin berdiri tepat di hadapan Dokter Saras. Ia sedikit mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap manik mata Dokter Saras karena tinggi Karin hanya berkisar hidung Dokter Saras saja. Terulas rasa kecewa di wajah Karin sembari menerima selembar kertas hasil tes DNA.

"Darah tikus tidak sekompleks darah manusia. Jika ini adalah darah manusia, maka dengan mengetahui kromosomnya dan melalui metode tahap identifikasi, menghimpun, dan menginventarisir sel-sel khusus, kita bisa mengetahui ciri-ciri fisik orangnya dari sel darah putih yang saya teliti. Tapi, ini adalah darah tikus bukan darah manusia," jelas Dokter Saras.

"Lalu bagaimana dengan sidik jarinya?"

"Bersih."

Lagi-lagi Karin dibuat kecewa.

"Hanya orang aneh yang akan melakukan hal seperti ini, melumuri mawar dengan darah dan membuat orang bertanya-tanya." Dokter Saras tertawa kecil. "Kamu terlalu memikirkannya berlebihan. Sebenarnya saya tidak suka memikirkan kejadian janggal seperti ini. Jadi, lebih baik kita simpulkan saja, ini ulah orang iseng."

"Baiklah, Dok. Saya pikir pengirim mawar ini punya hubungan istimewa dengan Dokter Irwan karena itu saya mencoba mencari tahu."

"Mustahil. Saya sudah mengenal baik Dokter Irwan selama tiga tahun ini. Ia hanya berteman dengan paramedis yang ada di sini saja. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan berada di puskesmas ini, jadi berkemungkinan kecil Dokter Irwan berhubungan dengan orang desa. Mereka jarang bertemu kecuali jika ada diantara warga desa yang ingin berobat dan itupun tidak pernah membuat mereka saling dekat. Apalagi soal mawar ini, konyol sekali Dokter Irwan punya hubungan dengan si pengirim yang begitu iseng kelakuannya."

"Mungkin ada yang Dokter Saras tidak tahu tentang latar belakang Dokter Irwan."

"Jelas saya tahu. Keluarganya ada di Kalimantan, orangtuanya masih lengkap, ia punya adik laki-laki seusia kamu yang sedang kuliah. Ia juga selalu mengirimkan setengah dari gajinya untuk keluarganya. Serta ia masih lajang, tidak dekat dengan wanita satupun."

"Oh, iya. Saya juga pernah menangkap gelagat yang aneh darinya. Kadang Dokter Irwan melamun, berbicara sendiri, dan memelototi sesuatu. Tapi, saya dapat memakluminya. Katanya saat kecil ia mengidap skizofrenia. Mungkin kelainan itu masih sedikit melekat hingga umur dewasanya." Dokter Saras menambahkan.

Karin menghela nafasnya, yang Dokter Saras ucapkan tentang Dokter Irwan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan orang terdekat Dokter Irwan yang mencurigakan.

"Ia pernah menceritakan soal adiknya yang baru masuk kuliah dan mengambil jurusan kedokteran. Kalau tidak salah namanya Dayu. Ia anak yang tampan. Matanya hijau, mengingatkan saya pada Gerri." Dokter Saras berujar lirih.

Kalimat itu seakan menghentikan degup jantung Karin tiba-tiba. Perasaan terkejut jelas-jelas dirasakan olehnya mendengar Dokter Saras menyebut nama Gerri.

"Gerri?" Karin mengulang nama yang Dokter Saras sebutkan. Sekedar memastikan kalau saja barusan ia salah dengar.

"Ah, bukan siapa-siapa. Ia hanya anak panti. Lama sekali saya tidak mendengar kabarnya. Ia diadopsi saat umurnya 12 tahun."

"Nama lengkapnya?"

Kringgg....

Dering telepon genggam milik Dokter Saras menjeda perbincangan mereka berdua. Dokter Saras pun segera menjauh dari Karin kemudian mengangkat teleponnya. Karin sempat mendengar sedikit percakapan Dokter Saras dengan penelponnya yang ada di ujung sana, yang Karin duga adalah suami Dokter Saras.

"Kita lanjutkan nanti ya, Karin. Suami saya menelpon dan saya harus pulang ke rumah. Mertua saya datang berkunjung, saya harus menemuinya."

"Iya. Kalau begitu terima kasih atas waktunya. Maaf telah merepotkan Dokter Saras."

Dokter Saras mengangguk, diiringi senyum ramahnya. Segera ia berlalu pergi meninggalkan Karin. Karin memandangi kepergian Dokter Saras selama beberapa saat, sampai pada akhirnya tubuh ramping dokter itu menghilang di balik kelokan koridor.

Kemudian Karin menunduk, memandangi secarik kertas tadi yang diberikan Dokter Saras padanya. Ia kembali terduduk di kursi lorong. Memikirkan tiga hal, pengirim mawar, Dayu, dan Gerri.

...

"Ris, lo marah nggak kalau gue tinggalin lagi?" Akas mencegat langkah Riris dengan berdiri di depannya. Wajah Riris yang tadinya sumringah kini kembali kecut. Mereka berdua menghentikan langkahnya dan berdiri berhadapan satu sama lain.

"Kalau udah tahu kenapa nanya."

"Mastiin aja."

"Mau pergi ketemu Karin lagi, kan?"

"Ya, terpaksa, karena ada hal yang harus gue selesaikan."

"Aneh. Awalnya lo menghindar banget sama Karin, sekarang malah sering ketemu terus."

"Dibilangin, kan karena masalah itu."

"Kalau gitu gue ikut."

"Buat apa?" Akas mengangkat sebelah alisnya.

"Mastiin aja. Kalau lo benar-benar ingin menyelesaikan masalah itu."

"Nggak boleh. Tadi gue udah bilang kan kalau gue nggak mau lo celaka karena hal itu. Kalau lo mau bantuin gue, mending lo bantu gue dengan jagain Rendra. Pastikan kalau dia nggak akan paksa gue balik sebelum masalah ini selesai. Dan setelah itu, gue janji, gue nggak akan pergi-pergi lagi," ucap Akas panjang lebar berusaha meyakinkan Riris.

"Wow, luar biasa. Lo bicara banyak kalimat lagi."

"Jangan malah takjub, deh. Intinya kalau lo mau beneran bantuin gue, lo lakukan aja kayak yang gue bilang barusan"

"Ya, ya. Asalkan dengan satu syarat. Jangan jatuh cinta sama Karin," ucap Riris memberi peringatan lalu begitu saja melenggang pergi melewati Akas.

Akas sempat termangu akan kalimat Riris barusan.

Jatuh cinta? Mimpi buruk macam apa itu.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang