26. Masa Lalu

39 6 0
                                    

Matahari yang tadinya menyingsing kini mulai meredup. Berjalan semakin ke arah barat untuk menyembunyikan dirinya. Namun, panasnya masih terasa dengan cahayanya yang mulai berwarna kejinggaan. Di sekitarnya, awan kumulunimbus bergulung-gulung meramaikan langit, menyertai matahari yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan.

Sebuah sedan hitam terparkir di halaman vila. Supirnya yang sudah bapak-bapak setia menunggu sambil menyulut rokok lintingan. Koper Rendra, Riris, dan Akas sudah masuk ke dalam bagasi. Sementara Rendra dan Riris belum juga naik ke mobil. Mereka masih menunggu satu orang lagi, Akas. Hari sudah sore dan Akas belum juga kembali. Rendra memasang wajah kesal, sedangkan Riris tampak begitu khawatir.

"Sudah jam lima nih, Mas. Tadi janjiannya jam tiga," keluh sang sopir yang mulai bosan menunggu. "Masih nungguin siapa sih, Mas?" lanjutnya.

"Maaf, Pak. Sebentar lagi. Temen saya kayaknya nyasar. Pasti dia bakalan segera balik kok. Tunggu, ya. Nanti saya bayar lebih. Tenang aja," jawab Rendra menyembunyikan kekesalannya. Sang sopir hanya manggut-manggut. Kalau dibayar lebih tidak apa-apa mau menunggu sampai malam pun.

"Kita susulin aja kali ya si Akas," usul Riris namun ditolak oleh Rendra.

"Nggak usah, nyusahin. Paling bentar lagi."

"Udah dari tadi dia nggak balik-balik. Gue khawatir."

"Dia nggak akan kenapa-kenapa. Pasti dia sengaja nggak ke sini supaya kita gagal balik ke Jakarta."

"Lagian lo juga main mutusin aja."

"Sebelumnya dia juga minta buat balik, kan? Jadi, sesuai permintaan dia. Nggak ada yang salah."

"Itu kan kemarin. Mungkin sekarang dia udah berubah pikiran. Bisa jadi dia udah mulai merasa betah berada di sini."

"Dia cuma mau bikin masalah. Berhenti lo belain dia lagi," titah Rendra tajam.

"Gue cuma pengen hubungan kita seperti dulu lagi. Gue udah pernah bilang kan, gue nggak suka kalian berantem."

"Hubungan kita nggak akan jadi seperti ini kalau Akas nggak mulai duluan. Semua masalah ini karena Akas. Dia keras kepala. Anak panti―"

"Ren! Lo jangan bicara begitu. Kalau Akas dengar dia bisa sakit hati."

"Kenyataannya, kan? Akas anak haram, ibunya pelacur, ayahnya kriminal. Pantesan sekarang dia bawa sifat buruk orangtuanya dan nyusahin kita."

"Gue nggak suka ya lo bicara begini. Mending gue nyari Akas sekarang."

Riris segera pergi meninggalkan Rendra, menjauhi vila itu untuk mencari Akas. Riris paling tidak suka kalau Rendra mengungkit-ungkit masa lalu buruk Akas, karena kenyataannya masa lalu Riris juga tidak lebih baik dari Akas.

Riris mengusap air matanya kasar yang tiba-tiba turun ke pipi kirinya. Riris berlari kencang, meninggalkan Rendra yang hanya mematung di depan vila tanpa berniat mengejar Riris sama sekali.

...

Rumah mewah bergelimang harta, Riris tidak pernah mengharapkan itu semua. Setiap hari setelah sholat, ia terus meminta kepada Tuhan untuk menjadikan keluarganya miskin lagi seperti dulu. Bukan tanpa alasan, dirinya benci kedua orang tuanya yang sudah kaya seperti sekarang. Ia tidak suka cara orangtuanya mendapatkan harta, yakni sebagai pengedar narkoba.

Sebuah ruangan penuh paket-paket yang berisi berkilo-kilogram sabu terkemas rapi, bertumpuk satu sama lain. Paket itu dikemas dalam bentuk kemasan susu bubuk agar tidak dicurigai pihak ekspedisi. Rencananya paket itu akan diseludupkan ke luar kota. Di ruangan itu, suara seorang lelaki dan perempuan tertawa lepas satu sama lain, menikmati aroma vape di ujung ruangan penuh benda haram itu.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang