13. Malam Nahas

43 7 0
                                    

Ruangan itu penuh oleh warna putih. Dengan ranjang yang berderet rapi dan tersekat-sekat oleh tirai berwarna hijau. Ada tiga ranjang di ruangan serba putih itu. Masing-masing ada nakas kecil di samping kirinya sedangkan di samping kanannya adalah tabung infus.

Cahaya matahari merangkak masuk melalui jendela yang dibuka sebagian. Semilir angin pagi tampak merayapi tubuh-tubuh yang terbaring tidak sadarkan diri di atas ranjang.

Mata Akas mengerjap pelan, mencoba beradaptasi dengan cahaya matahari yang memaksa masuk ke bola matanya. Ia lalu mengangkat tangannya ke wajah, berniat menghalau cahaya matahari yang ada. Namun, seketika rasa nyeri langsung menyerbu seluruh tubuhnya.

Akas meringis kesakitan. Tangan dan kakinya terbalut perban, sedangkan di wajahnya tertempel beberapa plester. Ia ada di puskesmas desa sekarang. Yang bisa dilakukannya kemudian adalah menoleh ke sekelilingnya, hingga didapatinya sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 tepat. Lalu di samping kirinya ada tirai hijau yang menghalangi Akas untuk mengetahui apa yang ada di balik tirai itu.

Akas segera tersadar dengan apa yang telah terjadi. Lekas-lekas ia memaksakan tubuhnya untuk bangkit dan menolak merasakan rasa sakit yang ada. Akas berjalan menuju tirai, kemudian ia menyibaknya dengan cepat.

Dirinya dibuat terkejut oleh sosok yang terbaring dengan seluruh tubuhnya ditutupi oleh selimut putih. Selanjutnya, Akas berjalan ke tirai yang ada di sebelahnya, disibakkannya pula tirai itu, dan sosok yang sama kembali terlihat, sosok yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut putih pula.

Dengan gemetar, Akas membuka selimut putih yang menutupi sosok pertama. Akas menggigit bibir bawahnya kuat, khawatir kalau itu adalah Rendra. Tapi, ternyata dugaannya benar. Sosok itu memang Rendra, terbaring kaku dan pucat dengan luka dan darah yang masih membekas di tubuhnya.

Akas segera meletakkan telunjuknya di hidung Rendra. Namun, tidak ada hembusan nafas, membuat Akas menjadi ketakutan. Kemudian ia meletakkan tangannya pada leher Rendra. Kali ini tidak ada denyut nadi yang dirasakannya. Ketakutan Akas pun semakin menjadi-jadi.

"Nggak mungkin."

Akas gemetar hebat. Ia berjalan mundur, lalu membuka selimut putih yang menutupi sosok kedua. Itu adalah Riris. Keadaannya jauh lebih parah.

Lekas-lekas Akas melakukan hal yang sama yang tadinya ia lakukan pada Rendra untuk memastikan Riris masih hidup atau tidak. Hal yang sama juga terjadi pada Riris. Akas tidak mendapati hembusan nafas ataupun denyut nadi pada Riris.

Akas kembali gemetaran. Ia langsung menekan sebelah kepalanya kuat. Pening, sakit. Kedua sahabatnya telah meninggal, di matanya sendiri, karena ulah Akas sendiri.

Akas menangis tanpa suara. Tangannya mencengkeram tepi ranjang untuk menompang tubuhnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena telah membuat kedua temannya tersebut celaka. Akas tidak tahu lagi harus berbuat apa, dadanya benar-benar sesak.

Andai saja Akas tidak berulah apapun dan memilih untuk mendengarkan Rendra agar tidak ikut campur masalah tersebut, pasti semua ini tidak akan terjadi. Mereka berdua pasti masih hidup.

Akas ambruk dan bersimpuh di lantai. Ia memegangi dadanya yang semakin terasa sesak. Akas bisa menangis dan mengeluarkan air mata. Namun, tidak ada suara apapun dalam tangisannya itu, selain suara bising mulutnya yang berulang kali menarik nafas karena sesak di dadanya.

"Egois." Akas mengumpat. Ia merasa sangat egois karena telah membiarkan siapapun yang dekat dengannya mati. Ini bukan pertama kalinya. Namun, dulu Akas juga pernah membiarkan seseorang dalam hidupnya meninggal karenanya.

Akas semakin menekan dadanya kuat. Isakan tangisnya semakin terdengar keras. Kini ia telah kehilangan dua orang yang selama ini dikiranya tidak akan pernah meninggalkannya. Namun, ternyata Tuhan mengambil kedua temannya itu dengan cara yang tidak disangka-sangkanya.

KELANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang