Shana menyuapkan satu persatu sendok dari kotak bekal milik Bina. Tabina Caroline adalah sosok perempuan yang telah berteman dengan Dishana sejak sekolah menengah pertama. Perempuan cantik keturunan Aceh dan sedikit campuran Belanda. Tentu sudah tidak diragukan lagi bentuk wajahnya. Perawakan khas wanita Aceh masih mendominasi wajahnya. Hidung mancung, rambut bergelombang berkilau indah. Tidak ketinggalan pula kulit putih bersihnya, sungguh tipe ideal dari kata "cantik" dalam pandangan laki-laki Indonesia.
Shana tidak mengelak apa yang dikatakan Bina, bahkan dengan senang hati tanpa ragu ia menikmati makanan buatan Bunda Bina tersebut. Tidak ada rasa sungkan, apalagi tersinggung. Ia paham dengan mulut pedas Bina ketika berbicara, ia pun paham dengan keadaan sebenarnya. Bukankah itu bukan sebuah bentuk tindakan keprihatinan melainkan kepedulian akan teman?
Satu persatu siswa dalam ruangan tersebut telah keluar meninggalkan kelas. Dengan tujuan utama tentu mengisi perut yang sejak tadi mendemo minta diisi. Apalagi setelah melewati perjalanan panjang mendengar kicauan dari Bu Asih.
Ahhh! Dishana tersadar.
"Lo pada nggak laperr?" Pandangannya meneliti satu persatu sahabatnya.
"Laperr." jawaban kompak, dengan singkat, padat, jelas dari keduanya membuat Dishana menyengir.
"Nihhh. Barengan, masih banyak kok." Tawarnya santai. Tanpa merasa bersalah. Mengingat nasi yang dimakannya bukanlah ia pemilik sepenuhnya. Bahkan pemiliknya tampak kelaparan. Begitu berdosanya Dishana tak menghiraukan mereka sebelumnya. Tidak tahu diri sekali!
"Nggak perlu!! Kayaknya besok gue harus ingetin bunda buat bawain bekal dua deh." Ucapan bernada sindiran itu membuat sendok yang hampir mengenai mulut Shana terurungkan.
"Ide bagus tuh, Bin. Sekalian setiap hari juga lebih bagus. Tumbenan juga nih bunda Carmila bawain lo bekal." Sendokan nasi yang sempat tertunda itu kembali melanjutkan tugasnya memasuki mulut Shana, memberi tenaga perempuan yang tadinya sudah hampir 'buta' katanya itu. Tanpa merasa bersalah, bahkan mengiyakan kalimat sindirian dari sahabatnya itu.
"Bunda paham sih, sering ada orang kelaparan di kelas gue. Ikut prihatin beliau. Bahaya kalo nggak ditangani bisa buta katanya. Ngeri kan?" Totalitas sekali Bina ketika berbicara. Wajahnya seolah mengatakan hal penting dan objek yang dibicarakan tidak ada di sana.
"Heran juga gue. Bisa-bisanya gitu ya, apa coba korelasinya antara laper sama buta. Bingung gue." Heran Jessa. tentu dirinya tak habis pikir dengan keadaan Shana. Bahkan ia sebelumnya tidak yakin dengan ucapan Bina yang mengatakan sembuh ketika diberi asupan makan nasi. Namun, nyatanya begitu. Separuh nasi Bina dihabiskan Shana, 80% energinya telah kembali. Sungguh ajaib bukan?
"Gue baru inget kalo gue belum makan nasi sama sekali. Makanya maag gue kambuh. Asam Lambung juga ikutan naik. Ditambah jadwal bulanan gue udah sebentar lagi, makanya pandangan suka kabur karena kurang darah." Sesantai itu Shana mengucapkan beberapa penyakitnya. Tidak lupakan juga kunyahan mulutnya yang tanpa henti bekerja.
"Baru inget? Lo pikir hal itu hal sepele yang perlu Lo lupain semau Lo? Terus kalo udah kambuh baru Lo inget?" Cecar Bina tak habis pikir dengan kesantain hidup perempuan didepannya ini.
"Buat apa hal nggak penting diingat-ingat. Tugas aja kadang gue lupa."
"Goblok. Lo pikir kesehatan Lo gak penting?" Emosi Jessa. Ahhh rasanya Jessa ingin membenturkan kepala itu, mendadak kunciran ungu tak berdosa yang mengikat juntain rambut di belakang Shana terlihat menyebalkan menambah rasa kesalnya. "Jangan selalu menganggap hal penting kayak gitu sepele, Shana!!"
"Gue orang unik, Jess. Sakit gitu doang mah, obatnya tinggal di kasih makan nasi. Udah abistu sembuh. Makanya Lo harus bersyukur punya teman langka kayak gini." pede Shana, memotong ccepat ucapan kedua temannya itu. Berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas mengenai penyakitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Teen FictionIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...