Shana mengatur nafas dengan susah payah. Tubuhnya ia sembunyikan di belakang Jessa. Tangannya masih bergetar seperti menahan amarah. Kejadian membuat dirinya tidak stabil. Rasanya benar-benar memalukan. Tidak bisa dijabarkan perasaannya, yang pasti dirinya ingin sekali memaki-maki lelaki menyebalkan tadi.
"Jess," Keluhnya.
Kepalanya ia senderkan penuh ke punggung Jessa. Berharap mendapatkan perlindungan dibalik punggung itu. Mengingat wajah tidak berdosa lelaki itu, rasanya Shana ingin mencakar, lalu menendangnya. Apakah Shana seharusnya marah seperti ini? Bukankah kembali lagi perasaan kecewa itu muncul akibat dirinya sendiri. Buat apa ia berekspektasi mengharapkan lelaki itu membatunya. Tidakkah ia belajar dari lalu-lalu, bahwasanya jangan berharap dengan manusia. Kekecewaan itu akan terus tembuh ketika berharap.
"Aduhh, Shan. Jangan nyender gitu ih, geli tau!" Jessa menggerak-gerakkan tubuhnya tak nyaman. Kulitnya sensitif dengan sentuhan seperti itu. Tidak sanggup ia menahan geli itu. Tetapi meskipun demikian, tidak tega pula ia mendorong Shana dari punggungnya.
"Gue malu." Lirih Shana terlihat frustasi. "Muka gue mau taruh dimana?" Shana bahkan tidak memperdulikan ucapan Jessa sebelumnya, bahwasanya perempuan itu mereka kegelian. Buhkan tubuhnya semakin ia rapatkan.
"Muka mah, ya di taruh di kepala, Shan. Mau di taruh mana lagi, masa iya di kaki?" Jessa malah membalas dengan godaan. Dengan cara itulah ia berusaha menenangkan Shana. Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk perduli.
"Gue pasti jadi bahan omongan orang-orang?" Lirih Shana. Kekesalan akan lelaki tadi kembali muncul. "Coba itu cowok nggak usah sok-sokan dateng. Pasti gue juga nggak semalu ini."
"Udah. Lebih baik Lo tenangin diri. Jernihin pikiran, nggak usah mikirin yang nggak perlu dipikirin." Nasihat Bina.
Kini mereka telah berada di Aula tempat acara dilaksanakan. Duduk di area tengah membuat banyak sekali pasang mata yang melihat kearah mereka. Mungkin kali ini benar padangan itu kearah Shana. Jika biasanya orang-orang memusatkan perhatian kearah kedua sahabatnya, Bina dan Jessa. Kali ini Shana lah yang menjadi pusat itu. Namun, bukan pusat seperti ini yang Shana inginkan.
"Lo semakin diliatin orang-orang kalo kayak gitu, berusaha tenang aja, nggak usah hiraukan orang-orang!" Bina melihat sekeliling yang tak sedikit masih membicarakan tragedi Shana tadi.
"Sejujurnya, gue kira kakak tadi beneran mau nolongin lo, Shan. Gue kira lo bakalan dapat pacar. hahahaha." Kini malah Bina ikutan tertawa mengingat kejadian tadi. Jujur Bina tidak habis pikir juga dengan kelakuan lelaki itu. Pasti dirinya pun sama dengan yang lain, mengira lelaki itu akan membantu Shana. Inimah, Shana mereka seperti di prank.
"Ihhh, Bina!!" Emosi Shana. "Lo ini nggak mikirin perasaan teman banget sih. Mana pake di perjelas lagi! Gue juga kan mikir gitu tadinya." Shana mencubit punggung Jessa, mendengar ejekan Jessa dirinya yang masih kesal di buat tambah emosi. Mana benar ak
lagi yang diucapkan Bina barusan. Dirinya pun sudah kepedean salah menduga."Sakit Shana.." ringis Bina sambil menahan perut untuk tidak tertawa. "Nasib Lo, Shan. Soal percintaan nggak pernah gagal pokoknya."
"Iya! Nggak pernah gagal untuk gagal." Koreksi Shana membenarkan dengan malas. Yah memang begitu adanya. Selalu seburuk itu. "Benci gue sama itu cowok!! Nggak punya hati!" Shana masih dendam tentunya akan kejadian tadi, masih terekam jelas diingatannya scane demi scane.
"Ihh ihh, itu cowok yang sama Shana tadi?" Ucap perempuan yang duduk tidak jauh dari posisi Shana. Membuat pusat mereka teralihkan dengan sosok lelaki yang dengan dibawa berdiri didepan mereka. Suaranya berat dengan intonasi lantang, namun masih terdengar begitu ramah di telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Fiksi RemajaIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...