Bagian ini merupakan flashback kejadian lalu
happy reading ❤️
•••
11 tahun lalu
"Nenekkkk. Ooonny lucu banget. Sekarang Ony udah pinter. Suka lari-larian. Aku sampe kecapean ngejer ony yang super aktif." Antusias anak berumur sembilan tahun itu.
Kucing berbulu putih bersih tampak sangat menggemaskan dipangkuannya. Tawa anak itu muncul ketika merasa geli akibat gesekan bulu yang mengenai tangannya.
"Semakin bertambahnya usia, semua akan semakin pinter, Dishan." Senyum wanita yang terlihat sudah berumur itu terbit. Memperhatikan cucunya yang begitu bahagia bermain dengan binatang kesayangannya itu.
Dishan. Panggilan yang hanya diberikan oleh sang nenek kepada cucunya tersebut. Awalnya Shana protes mendengar panggilan yang dirasanya aneh itu. Namun hingga kini sang nenek tetap merasa nyaman menyebut nama tersebut.
"Tapi Shana udah semakin gede kok nggak pinter-pinter, nek?" Tanya anak itu dengan polos. Menatap sang nenek dengan heran.
"Kata siapa Dishan cucu nenek ini nggak pinter? Pinter gini kok." Ucapan lembut diiringi elusan kasih sayang di puncak kepala anak tersebut tidak membuatnya riang mendengar pujian dari sang nenek.
"Tapi Shana belum hafal semua perkalian satu sampai sepuluh padahal umur aku udah sembilan tahun. Teman-teman Shana semuanya pada hafal. Kata temen Shana, Shana bodoh, nek." Cerita anak itu, terlihat murung ketika mengatakannya.
"Tapi Dishan udah berusaha dan belajar, bukan?" Wanita tua tersebut bertanya.
Shana mengangguk dengan pelan. "Aku rajin belajar setiap hari, kalo malam-malam hafalan perkalian disimak kak Asha. Tapi sampai sekarang nggak juga hafal. Shana gagal, nek." Jawabnya dengan putus asa.
"Dishan, kamu bukannya gagal. Kamu udah sangat berhasil melaksanakan semuanya. Nggak semuanya keberhasilan itu di nilai bagus dari hasil akhirnya. Justru proses kamu berusaha, perjuangan kamu belajar setiap hari itulah keberhasilan dari diri kamu. Kamu nggak gagal, kamu udah berhasil jadi anak yang rajin." Suara menenangkan itu membuat anak tersebut mulai kembali tersenyum.
"Jadi Shana berhasil jadi anak yang rajin ya, nek?" Semangatnya telah kembali. "Tapi Shana nggak pinter." Namun, semangat itu kembali memudar ketika ia mengingat fakta itu.
Ejekan-ejekan dari temannya suka menghantuinya. Mengatakan dirinya seharusnya tidak naik kelas dengan kemampuannya itu. Rasa tidak percaya dirinya setiap akan memulai pelajaran matematika membuat Shana selalu takut. Teman-temannya terlihat begitu hebat dengan kemampuan menghitung mereka. Sedangkan dirinya? Sekuat apapun ia berusaha untuk mempelajari pelajaran itu, sangat sulit untuk berhasil.
"Kenapa Dishan harus sedih? Kamu kan udah pinter menjadi anak rajin." Suara menenangkan itu kembali membuat senyum Shana timbul.
"Ohhh gitu ya, nek." Senyum cerahnya tidak juga pudar. "Onyy. onyyy. Shana jadi anak pinter lohhhhh." Bangganya.
Kucing tersebut ia mainkan dengan bahagia. Tanpa protesan dari kucing tersebut, terlihat pasrah dengan kelakuan tuannya. Sedangkan sang nenek tersenyum bahagia melihat cucunya kembali ceria. Dishana memang mempunyai kemampuan otak yang kurang di pelajaran hitungan tersebut, namun sang nenek sangat yakin suatu saat kemampuan itu akan sangat berhasil melihat seberapa gigih cucunya itu ketika belajar.
Kepintaran yang dimiliki seseorang itu tidak hanya pintar yang dikaruniai sejak lahir. Ada anak yang memang mempunyai kemampuan hebat tanpa berusaha keras untuk belajar, ada juga anak yang hebat karena belajar keras. Orang pintar sejak lahir bisa terkalahkan dengan orang rajin. Itulah mengapa sang nenek sangat percaya cucunya akan bisa menjadi pintar seperti apa yang ia ucapkan kepada Shana tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Teen FictionIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...