bagian tiga puluh

775 106 6
                                    


Tidak tahu ingin berlari dan sembunyi kemana. Menunjukkan wajah kehadapan keluarga rasanya Shana tidak sanggup. Dirinya di sini yang salah. Dirinya manusia paling egois. Sangat wajar perlakuan tante-tantenya memperlakukan dirinya seperti itu. Kesakitan akan ucapan pedas tantenya belum seberapa dengan sakit kehilangan seorang ibu. Itu semua karena ulahnya. Kelakuan egoisnya.

Meraung-raung menangis, sudah Shana lakukan. Berharap semua itu hanya omong kosong belaka. Nyatanya, memori itu perlahan mulai teringat dikepalanya.

Shana kecil yang manja kepada nenek.

Shana yang sok bisa melakukan semua, hingga memaksa nenek untuk memandikan kucing.

Nenek yang begitu baik.

Hingga....

Kecelakaan itu.

Nenek yang terbaring lemah di rumah sakit.

Hingga pergi.

Shana si anak egois.

Hanya sampai sana memori otaknya mengingat. Setelah itu moment Shana hidup kembali normal menjadi anak sekolah dasar pada umumnya. Saat itu tidak pernah teringat kejadian itu, ia hanya tahu perlakuan berbeda atas ucapan pedas keluarga bahkan sikap mamanya murni karena kemampuan Shana yang tidak sehebat kakak dan sepupunya yang lain.

Shana hanya tahu neneknya meninggal sejak dirinya kecil, itu yang dikatakan Asha ketika dia pernah bertanya. Asha juga menekankan kepadanya untuk tidak membahas di depan keluarga dan Mamanya juga tidak ingin mengungkit masa-masa sedih kehilangan. Dan ternyata.. Kehilangan itu karena ulahnya.

Bahkan fakta seorang Papa yang ikut pergi ntah kemana, hingga saat ini tidak kembali baru Shana ketahui saat ini. Kemana sosok lelaki yang seharusnya menjadi seorang terdepan yang menyelesaikan masalah dan kerumitan yang terjadi saat itu. Jika alasannya pergi karena bersalah atas kejadian itu atau apapun masalah antara orang dewasa kedua orangtuanya. Rasa Shana dirinya penyebab kejadian itu bukan salah papanya, Shana yang patut disalahkan disini.

Benar. Dirinya penghancur segalanya.

Shana seorang pembunuh!!!

"Kakkkkk.." Lirihnya disela tangisan yang belum juga terhenti ia usahakan agar suaranya terdengar biasa saja.

Ntah pikiran darimana dirinya menghubungi orang itu. Diotakknya hanya terlintas nomer tersebut. Tidak ingin menghubungi teman-temannya, takut memberi tahu fakta menjijikkan bahwa dirinya seorang pembunuh.

"Iyaaa. Dishana." Orang di sebrang sana menjawab.

Lelaki yang selalu menyebut dirinya dengan panggilan lengkap sekata, tanpa di potong. Dishana. Lelaki yang awalnya selalu membuat masalah dengan nama ambigu Shana. Dan mengapa kini menjadi orang pertama yang dihubungi Shana? Apa Shana seyakin dan se percaya itu dengan lelaki itu.

"Kakk Nunggaaa." Tangis Shana kembali pecah. Tidak bisa ia tahan dan sembunyikan. Toh, dirinya sudah menghubungi lelaki tersebut berarti kenyataan akan dirinya sudah pasti akan diketahui lelaki itu.

"Hallo Dishana?? Lo kenapa??" Suara panik Nungga terdengar oleh Shana. Namun Shana kini tidak bisa mengeluarkan suara selain tangisan. Berpikir apakah menelpon Nungga adalah keputusan tepat.

Apa Nungga akan sama bencinya dengan keluarganya setelah mengetahui fakta kejahatannya?

"Dishanaaaa.. Hallooo. Kenapa nangis??" Suara lembut itu kembali membuat tangisan Shana semakin menjadi.

"K-aakk.." Putus-putus Shana berbicara. Berusaha keras mengontrol tangisannya agar bisa berhenti. Nyatanya semua itu sia-sia. Tangisan yang terus-menerus berjalan seoalah aliran yang dilewati begitu mulus sehingga tidak ingin untuk menghentikan laju air matanya untuk jatuh.

DishanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang