Perjalanan dari toko buku menuju rumah Shana terasa sangat jauh. Pikiran Shana kacau akibat perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh Nungga. Dirinya belum pernah mendapatkan tindakan seperti itu oleh lelaki. Bahkan kebanyakan lelaki malah enggan dengan dirinya. Bagaimana Shana tidak akan merasa terharu dan menganggap perlakuan tersebut hal yang lebih.
Bahkan Shana melupakan alarm yang biasanya terus berbunyi dikepalanya bahwa jangan berharap lebih kepada manusia, karena hal itu akan mengecewakan. Shana ingin mengabaikan itu dan kembali berharap kepada satu harapan. Berharap akan kebahagiaan muncul dari harapan tersebut. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang selalu dikecewakan akan harapan yang ia susun tersebut.
brebettt.. brebettt...
Suara itu bukan suara alarm diotaknya. Melainkan suara dari knalpot motor Vespa Nungga. Perlahan motor tersebut menghentikan lajunya lalu mati dengan sepenuhnya. Nungga mengumpat pelan ketika motor itu telah berhenti. Starter yang biasa digunakan untuk menghidupkan sudah berulangkali ia pencet namun tidak membuahkan hasil, suaranya pun tidak keluar.
"Dasar momoy! Mogok nggak tahu situasi." Umpatnya.
Nungga turun dari momoy. Membuat Shana mau tidak mau mengikuti gerak lelaki tersebut.
"Aduhh Dishana, momoy lagi ngambek nih. Merajuk dia tuannya lebih perduli sama orang lain dibanding dia." Sesal Nungga akan kondisi sang motor. Raut tidak enak terlihat jelas di wajah lelaki tersebut.
"Nggak papa kok kak. Gue jalan aja ini udah dekat kok." Untung juga saja posisi mereka saat ini sudah dekat dengan rumah Shana. Bahkan taman tempat pertemuan Shana dengan Nungga dan teman-temannya pun sudah terlihat.
"Ehhh nggak usah! Bentar lagi momoy sembuh kok." Nungga masih berusaha menghidupkan motor kesayangannya itu.
Terlihat posisinya kini sudah berdiri, standar dua sudah terlihat. Nungga berusaha mengengkol motor tersebut. Namun sepertinya sia-sia, Momoy tidak kunjung juga hidup. Sepertinya apa yang diejekkan Ubay tentang motor itu benar semua nyatanya. Nungga saja yang selalu mengelak dan tidak terima.
"Itu tamannya aja udah keliatan. Rumah gue deket taman itu kok." Jelas Shana lagi berusaha meyakinkan. "Lagian ini udah sore banget. Kak Nungga balik aja kearah luar kompleks. Di samping arah kiri ada bengkel, bawa aja momoy ke Shana." Shana memberi usulan.
Ada hal lain juga yang membuat Shana lebih lega motor Nungga rusak. Nungga tidak perlu tahu rumahnya, fakta bahwa dirinya serumah dengan Asha akan terkuak dan itu sangat bahaya. Memang sih, Shana sebelumnya sudah mengotot minta diturunkan di taman itu, namun siapa yang tidak mengenal Nungga jika sudah memaksa. Sapa tahu saja lelaki itu ngotot ingin mengantarkan sampai rumah. Kalau motornya mogok inikan tidak ada alasan lagi untuknya.
"Beneran nih nggak papa?" Ragu Nungga. Tapi mau bagaimana lagi, benar kata Shana jika menunggu motor ini hidup pasti akan semakin malam Shana sampai rumah. "Yaudah Lo hati-hati, liatin jalan kalo ada hal aneh lapor ke gue!" Nasehat Nungga lagi.
Sok bilang lapor kepada dirinya, punya kontak untuk dihubungi saja tidak.
Tentu hal tersebut tidak diucapkan oleh Shana. Akan terlibat berharap sekali nanti dirinya.
"Iya kak. Makasih." Ucap Shana. Shana telah bersiap untuk melaju meninggalkan Nungga sendiri di bawa pohon besar itu. Namun langkahnya harus kembali berhenti ketika panggilan Nungga kembali terdengar.
"Eh Dishana! Lo harus hubungi gue pokoknya kalo ada apa-apa. Ini udah malam." Ulang Nungga kembali mengingatkan.
"Yailah kak. Ini kompleks gue, dari gue lahir juga di sini. Lo tenang aja, udah biasa gue jalan ke depan kompleks sendirian." Balas Shana santai. "Lagian hubungi apa? 911?" Akhirnya kalimat sindiran akan fakta mereka belum saling mempunyai kontak pun lepas dari mulut Shana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Teen FictionIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...