Shana terbangun di kamar bernuansa putih. Membuka mata menormalkan penglihatan. Mengamati sekeliling, membuatnya tersadar bahwa ini bukan kamarnya, dan mengembalikan ingatan kejadian yang terjadi. Kepalanya berdenyut nyeri. Ketika ia menoleh ke arah samping, kini terlihat dua lelaki yang menatap dirinya dengan fokus. Membuat tubuhnya menegang sepenuhnya.
"Lo udah mendingan, Dishana? Suara pertama yang keluar itu dari Nungga. Lelaki yang berdiri mengamatinya dari dekat pintu kamar. Sedangkan Asha, duduk di kursi dekat tempat tidur.
"Gue emang nggak apa-apa." Jawab Shana. Dilihat dari apa yang dialami memang Shana tidak sakit secara fisik. Namun, akibat pikiran dan kejadian yang terjadi membuatnya lelah pikiran.
Nungga mengangguk. Mengiyakan saja ucapan Shana. Tidak ingin mendebat lebih. Mengingat hal tersebut hanya membuat kepala Shana semakin terbebani.
Berbeda dengan Nungga. Asha terlihat hanya diam, tidak mengeluarkan suara. Namun tatapannya tidak berhenti barang sedikitpun dari Shana.
"Kayaknya banyak yang kalian mau bicarain. Gue kayaknya luar aja, deh. Kalian ngobrol, gue kasih ruang." Peka dengan keadaan. Nungga berkata demikian.
"Lo di sini aja. Ada hal yang mau gue omongin juga menyangkut Lo." Tahan Asha ketika Nungga telah bersiap untuk jalan keluar kamar.
"Hah?? Gue luar aja, deh. Obrolan keluarga mungkin gue sebaiknya nggak ikut campur." Tolak Nungga tidak enak.
"Lo udah ikut campur. Jadi Lo di sini!" Suara Asha terdengar tegas tidak ingin dibantah. Membuat Nungga terpaksa menuruti meskipun dengan kebingungan.
"Shana.. Lo nggak usah pikirin kejadian lalu. Semua itu bukan salah Lo." Suara Asha kini melembut. Memberi tatapan yang berusaha menguatkan sang adik.
Shana menggeleng tidak menyetujui ucapan Asha tersebut.
"Shan. Liat gue." Asha meraih bahu Shana. Menuntun sang adik agar berpaling menatap kearahnya. Mau tidak mau Shana menatap wajah Asha. "Lo lupain aja ya semua kejadian dahulu. Hidup normal kayak biasanya. Lo boleh benci gue, dan nggak anggap gue sebagai kakak. Gue rela Shana, yang penting Lo bisa hidup normal, tanpa terbebani dan sakit akan kejadian di masa lampau."
Baru kali ini Shana melihat Asha selemah ini. Lelaki yang biasanya selalu jutek dan enggan berbicara kepadanya. Selalu membuat Shana emosi dengan dengan Asha karena sikap semena-menanya. Namun kini, Asha yang dilihat Shana adalah Asha yang jauh berbeda. Asha yang berperan sebagai kakak sesungguhnya bagi dirinya. Pengorbanan lelaki itu jelas membuat Shana merasa bersalah.
"Kakk Ashaaaa.." Shana menghambur kepelukan Asha dengan cepat. Tangisan kerasnya kembali muncul. "Maafin Shana. Gue tahu hidup Lo pasti berat harus banyak berkorban demi adek nggak tahu diri Lo ini. Gue manusia egois kakk." Shana berbicara disela sesegukan tangisan.
Nungga yang menyaksikan bahkan mengalihkan pandangan dari situasi hari tersebut. Memang keputusan dirinya untuk luar itu sudah benar. Asha saja yang ngotot menahannya. Lihat kan? Dirinya menjadi penonton kedua kakak beradik itu saling berharu. Bukan apa, Nungga tidak kuat melihat moment tersebut. Perasaannya ikut merasakan sakit yang mereka rasakan. Untung air mata tidak ikut meluruh.
"Dishana!!! Lo nggak boleh ngomong kayak gitu!! Tegas Asha. "Gue nggak akan mau dengar Lo ngomong seperti itu lagi. Nggak ada yang disalahkan di sini. Lo ataupun gue itu nggak ada yang salah!! Lo harus tahu, seberat apapun yang gue jalanin kemarin itu nggak seberapa berat dari yang gue alamin sekarang. Ngeliat Lo kayak gini, hancur, terus mengingat kejadian dahulu, terus menyalahkan diri. Ini jauh lebih berat dan sakit Shana. Gue bisa berpura-pura benci sama Lo, pura-pura nggak menganggap Lo adik. Tapi gue nggak bisa terus diam dan berpura-pura setelah Lo tahu alasan segalanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Fiksi RemajaIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...