Suara obrolan yang terdengar dari luar kamarnya membuat Shana terbangun dari tidur siangnya. Menatap kearah Abul yang ikut tertidur di sebelahnya. Saharian ini dirinya lelah dengan perintah sang Mama yang terus-terusan menyuruh ini itu kepadanya. Kebiasaan saat weekend. Sebenarnya hal yang diperintahkan Namanya adalah hal-hal remeh yang seharusnya tidak perlu sampai dirinya yang masih dikamar keluar untuk melakukan hal itu.Contohnya saja, tadi dirinya disuruh untuk menghidupkan air ketika Mamanya masih di dapur. Padahal letak saklar untuk menghidupkan air posisinya tidak jauh dari dapur, melainkan sungguh jauh dari kamarnya yang terletak di depan. Hal lain pun seperti mematikan lampu, ambilkan remote, matikan kompor dan lain sebagainya yang tentu membuat emosi Shana tidak stabil dibuatnya. Seperti itulah kegiatannya. Masih banyak hal lain yang diperintahkan kepadanya.
Sepele bukan? Tapi mengapa harus berteriak menyuruh dirinya yang berada jauh di ruangan jika hal itu bisa dikerjakan dengan cepat oleh mereka? Memang aneh. Tapi Shana harus patuh, ingat! Hanya ini yang bisa ia banggakan.
"Meooonggg," protesan keras dari Abul terdengar ketika tangan Shana yang sedang meregangkan otot-otot ketika bangun tidur mengenai perut buncit Abul yang yang ikut terbangun akibat kegiatan Shana.
Ngomong-ngomong soal nama panggilan Shana kepada kucingnya itu, sebenarnya nama Abul itu tidak sengaja Shana ucapkan ketika terlalu sulit menyebutkan anabul sebagai panggilan awalnya kepada kucing, sama seperti orang kebanyakan menyebutkan peliharaan hewan berbulu itu. Pikiran terlintas itu membuat Shana bersyukur tanpa pusing untuk memikirkan nama untuk kucingnya.
"Stttt, stttt, Bul, diem dulu. Gue lagi dengerin itu suara rame-rame apaan?" Perintah Shana kepada Abul. Ditatapnya Abul dengan wajah peringatan. Tangannya bergerak menoel atas kepala kucing itu memberi pelajaran.
"Meong, meongg, meongg." Abul malah menahan tangan Shana yang akan ditariknya. Dijilatnya jari-jari Shana, seolah tangan itu merupakan makanan lezat yang bisa dinikmati.
"Ewww, jorok lo Bul. Untung Lo bukan najis, jadi gue nggak perlu cuci 7 kali salah satunya make tanah lagi!" Canda Shana.
Shana terus menggerutu tapi tak menarik tangannya, membiarkan si Abul menjilati jari-jarinya.
"Inikan acaranya Bulan depan, jadi masih ada waktu buat kita nyiapin."
Shana menajamkan pendengarannya mendengar suara perempuan di luar kamar itu. Was was jika ternyata itu adalah rombongan tante-tantenya yang bermulut lambe. Mengingat segerombolan Tantenya itu membuat Shana bergidik takut. Berdoa agar Shana tidak lagi dipertemukan dengan mereka, meskipun tentunya hal itu mustahil mengingat setiap tahun pasti saja ada agenda kumpul keluarga.
"Acara apaan bulan depan?" Shana mengingat jadwal pertemuan keluarga tahun lalu, dan mengaitkannya dengan jadwal tahun ini.
"Kumpul keluarga ya, Bul?" Shana menatap Abul meminta penjelasan.
Seolah hewan itu bisa menjawab pertanyaannya. Si Abul tentu saja mengabaikan pertanyaan itu. Ia malah masih fokus menjilati tangannya tidak mempedulikan ucapan dari tuannya. Menengok pun tidak. Lagian pun jika pun jika kucing itu bisa mengeluarkan suara menjawab pertanyaan Shana tentu dirinya akan takut.
"Gue mau cuci tangan deh, bul." Shana menarik tangannya. Berniat untuk membersihkannya dari kegiatan yang abul lakukan.
"Acaranya emang masih lama, tapi kita jangan leha-leha, mulai persiapin dari sekarang. Jangan malah santai-santai karena mikirnya masih lama." Suara itu terdengar memberi peringatan. Shana mengerutkan dahinya. Kali ini suara laki-laki terdengar. Itu bukan suara Asha kakaknya. Lebih terdengar friendly tidak seperti Asha yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Teen FictionIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...