Berusaha menjalani kehidupan kembali normal, meskipun dengan jiwa yang tertatih-tatih. Itu misi Dishana saat ini. Akibat perjuangan Asha yang berusaha keras meyakinkannya untuk bisa menjalani itu semua, perlahan Dishana mulai bangkit. Perjuangan Asha perlahan membuahkan hasil.
Kini meskipun pikiran berkecamuk akan masalah itu masih selalu menghantui, perasaan bersalah yang terus menggerogoti hati, kekecewaan terhadap diri sendiri, ketakutan, semua masih terasa. Namun bedanya, perlahan Shana mulai berusaha menjalani hidup lagi dengan menjadikan semua itu sebagai teman. Teman, yang bagaimanapun juga tidak akan berpisah dengan kehidupannya.
Untuk bisa kembali ke rumah memang suatu yang sulit, dan Dishana belum mencapai ke tahap itu. Hingga saat ini terhitung hampir dua Minggu pasca tragedi dirumahnya hingga terkuak segalanya. Shana belum juga berani menampakkan wajah kehadapan keluarga, apalagi sang mama. Asha mengerti ketakutan dan ketidakberdayaan itu. Ia membiarkan Shana untuk tetap tinggal di tempat Nunggu, dan Nungga pun tidak mempermasalahkan itu. Dirinya malah bahagia, Nungga senang rumahnya ramai.
Tidak jauh berbeda dengan Dishana, Asha masih sama mengikuti Shana yang tinggal di rumah Nungga. Dengan dalih tidak ingin membiarkan sang adik berduaan dengan lelaki yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Shana tahu, hampir setiap hari Asha pergi untuk ke rumah. Ntah tujuannya untuk menjelaskan keberadaan mereka atau bagaimana. Yang pasti Asha rutin pergi dari pagi menjelang siang, hingga ketika ba'da dzuhur lelaki itu kembali lagi, bahkan beberapa kali sore hari baru kembali. Shana ingin menanyakan bagaimana keadaan Mamanya, bagaimana rumah, bagaimana keadaan setelah kekacauan yang ia perbuat. Namun, lidah itu kelu, setiap mengingat dan semua yang berkaitan dengan kejadian itu, seluruh tubuh dan syaraf Shana tidak bisa berfungsi dengan baik, bahkan untuk mengontrol dirinya pun ia kesulitan. Hingga jika berlarut memikirkan dirinya seperti kehabisan energi untuk hidup. Rasa ingin menyalahkan terus menerus membuatnya mengurung diri di kamar.
Seperti saat ini. Tubuhnya gemetar hebat. Bayang-bayang kejadian itu kembali muncul, meskipun sekuat tenaga ia menyakini kata-kata Asha bahwa semua itu adalah takdir dan bukan salahnya, tetap saja tidak membuat dirinya membaik. Dirinya tetap salah, tidak tahu diri dan..... Pembunuh.
"Dishanaaa.... hallo Dishana..." Teriakan keras dari seseorang di luar kamarnya terdengar. Masih terdengar agak jauh dari posisinya namun lengkingan itu sangat jelas menusuk telinga.
Sudah jelas siapa pemilik suara itu. Nunggara. Sang pemilik rumah. Setiap hari tanpa terlewat kicauan akan panggilan namanya selalu terdengar.
Dishana..
Dishana..
bahkan sering diiringi kicauan selanjutnya yang dibuat-buat seperti nyanyian.
"Dishanaa... Dishiniii...."
Bak penyanyi yang memiliki suara yang merdu suara itu terus terdengar mendekat. Hingga langkah kaki yang tadinya mengiringi nyanyian tersebut berhenti. Sudah terbayang oleh Shana, Nungga yang berjalan dari lantai atas menuruni tangga, dengan kicauan memanggil namanya tanpa henti, hingga terus menderu telinga di depan kamarnya. Tidak akan berhenti hingga sang pemilik nama keluar menampakkan wajahnya.
"Oooo Dishana... Dishiniii... Dimana-mana ada Dishana..."
"Woyyy Dishana.. Lo kok diem aja sih? Lo di kamar kan?"
Terdengar kesal karena panggilannya tidak mendapat gubrisan dari sang empu nama, Nungga protes.
tokk tokk tokk
Kini diiring ketukan pintu. Nungga belum puas hingga Shana menjawab panggilannya atau bahkan syukur-syukur hingga menampakkan wajahnya keluar.
"Lo di dalam kan? Atau keluar ikut Asha?" Pertanyaan kembali keluar dari mulut lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dishana
Fiksi RemajaIni tentang Dishana, perempuan yang memiliki nama ambigu sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Ini juga tentang di sana, dimana yang terlihat tertawa belum tentu bahagia, menangis belum tentu menderita. Dishana, di sana? Terdengar sama, namun...