Bagian tiga puluh satu

681 111 17
                                    

"Kandangnya taruh situ aja, Dishana." Ucap Nungga ketika mereka sampai disebuah bangunan minimalis. Tepatnya rumah Nungga.

"Ini benar gue nggak apa tinggal di rumah Lo, kak?" Shana menatap Nungga dengan ragu.

Dirinya sendiri pun tidak yakin dengan keputusan ini. Tinggal berdua dengan lelaki bukan keluarga tentu bukanlah hal yang baik. Namun, membayangkan untuk kembali ke rumah dengan kenyataan yang ia ketahui rasanya Shana belum sanggup. Ntah sampai kapan ia akan berani untuk menunjukkan wajahnya dihadapan keluarga. Rasanya dirinya penuh dengan dosa, tidak layak tinggal lagi di sana.

"Gue sih fine fine aja. Lagian juga rumah ini dua lantai. Kamar gue diatas biar Lo di bawah. Balik lagi ke diri Lo, Dishana. Kalo Lo berubah pikiran untuk kembali ke rumah, gue siap mengantarkan." Nungga menatap serius kearah perempuan yang terlihat ragu dengan keputusannya itu.

Ketika perjalanan pulang. Nungga akan mengantarkan Shana kembali ke rumah, yang mendapatkan penolakan keras dari Shana. perempuan itu ngotot tidak mau pulang. Meminta Nungga untuk mencarikannya kos-kosan dekat kampus. Awalnya tentu Nungga menolak keras keputusan Shana. Bagaimana pun juga Shana anak perempuan, dalam pikirannya tentu akan di cari oleh keluarganya. Namun, ketika melihat raut panik dan frustasi dari Shana, Nungga menyerah. Ia tahu awal permasalahan berawal dari keluarganya, dan Shana ingin menghindari itu. Nungga menghargai keputusan Shana, mungkin perempuan tersebut butuh tempat untuk mendinginkan pikirannya sejenak. Nungga yakin, tidak lama Shana akan kembali ke rumah.

Akhirnya Nungga menyarankan untuk tinggal di rumah kontrakannya. Berhubung rumah tersebut berlantai dua dan hanya ditinggali dirinya seorang. Mungkin itu lebih baik. Daripada Shana nge kos sendiri dengan keadaan Shana yang seperti ini. Dirinya tidak ingin Shana membahayakan dirinya.

"Gue belum sanggup, kak." Lirih Dishana kembali terdengar putus asa. "Atau gue nggak akan pernah sanggup."

Nungga menatap Shana dengan pandangan teduhnya, berusaha memberikan kekuatan.
"Sebesar apapun masalah Lo dengan keluarga, mereka tetap akan menjadi keluarga Lo, Dishana. Keluarga tempat untuk pulang."

"Apa mereka masih menganggap gue keluarga? Gue seorang pembunuh kak!!" Shana kembali mengeluarkan kata-kata itu 'pembunuh' membuat Nungga merasa nyeri di dadanya. Nungga belum tahu masalahnya, tapi Nungga bisa merasakan sesakit apa Shana ketika mengatakan itu.

"Lo bukan pembunuh!" Tegas Nungga. Dihampirinya Shana yang kini tatapannya kosong melihat kearah kandang kucing disebelahnya.

"GUE PEMBUNUH!!!!" Teriak Shana. Menarik rambutnya frustasi, ucapan-ucapan pedas tantenya selama ini kembali terngiang. Dimana Shana terkadang membalas karena tidak terima. Namun nyatanya sakit dirinya akan omongan pedas tersebut jauh lebih tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan para Tante dan mamanya. Kehilangan sosok Ibu untuk selamanya.

Nungga menuntun Shana untuk duduk sofa ruang tengah. Memberikan ruang untuk istirahat, berharap Shana bisa mengontrol dirinya. Nungga berusaha menenangkan dengan memberikan tepukan-tepukan ringan di punggung perempuan itu.

"Kak, gue udah buat nenek meninggal, papa pergi. Semua itu karena kesalahan gue. Keegoisan gue. Gue anak pembangkang! Nggak nurut omongan nenek, membantah. Andai kak.. Andai gue jadi anak baik-baik, mengikuti omongan nenek. Nenek nggak akan pergi. Tante-tante dan mama nggak akan kehilangan Ibu mereka. Papa nggak akan Ninggalin mama dan keluarga." Tangisan Shana lagi lagi keluar. Meratapi segala kejadian yang bahkan perlahan-lahan baru bisa ia ingat kembali.

Lalu, mengalirlah cerita Shana. Segala kejadian yang terjadi dari awal perlakuan beda yang ia dapatkan dari keluarga, lalu penyebab semuanya seperti yang diceritakan Asha. Shana seolah mencurahkan semua kepada Nungga. Menjadikan Nungga tumpuan, berharap lelaki itu tetap berada disisinya meskipun tahu fakta semua itu.

DishanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang