17. Menjadi manusia asik

938 186 54
                                    


Hendra wataknya keras, jika menurut nya A yah tetap A, tidak ada opsi B, C, D dan E. Setiap kali Biru angkat bicara atau menyanggah perbincangan mereka, Mereka selalu mengatakan bahwa mereka lebih paham dibandingkan dirinya.

malam ini Biru benar-benar meruntuhkan segala ekspetasi mereka yang di letakkan pada pundaknya. Menjadi kebanggaan mereka katanya, namun nyatanya yang ia dengar kali ini bukan apresiasi dari mereka.

Menjadi anak tunggal, sulit baginya.

Bisakah kali ini mereka mendengarkan keluh kesah yang dikhususkan untuknya? yang sering sekali diajak bertarung oleh isi kepalanya sendiri. Apa bisa?

Biru yang selalu pukul tiga bagi berdebat dengan dirinya sendiri di depan cermin hanya untuk menanyakan, "Apa bisa menjadi anak kebanggaan mereka?"

"Apa bisa?" Kata yang pertama Biru ucapkan pada cermin setelah satu jam bertarung dengan dunianya sendiri.

Ia menatap pantulan cermin yang terpapang jelas wajahnya bersamaan air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dan untuk sekian kalinya, ia tidak menemukan satu jawaban itu, di dirinya sendiri. Andai ia terlahir kuat, dengan pundak kokoh dan tegap saat semua beban di limpahkan kepada pundak kecilnya.

Apa ia bisa menjadi versi yang lebih baik dari sekarang? apa ia bisa menjadi kebanggan mereka? apa ia bisa?

"Pengecut, Biru. Kamu pengecut" lagi-lagi Biru merendahkan dirinya di hadapan cermin. suara jarum panjang jam yang kian terdengar.

"Seharusnya kamu bisa jadi anak kebanggan papah" Biru memejam matanya sejenak menghirup udara yang terasa sesak di dalam kamarnya.

Sekarang Biru membuka kedua matanya menarik sudut bibirnya tersenyum singkat menatap cermin. menghalau keributan di kepalanya dengan kalimat, "Setidaknya, ada satu orang yang bangga sama kamu, Biru. yaitu diri kamu sendiri." setelah itu tarikan nafas dalam-dalam untuk membebaskan dirinya dari monster di kepalanya.

Diliriknya ponsel yang disimpan diatas nakas dari tadi berisik. pesan singkat dari Braga membuat Biru menarik bibirnya.

"Kalo bokap lo, bikin lo nangis, bilang ke gue. Biar gue marahin bokap lo itu"

Salah satu pesan singkat dari Braga berhasil membuat Biru tertawa kecil. Biru tak yakin jika Braga benar-benar betindak seperti itu. Braga memang bisa membuat Biru tertawa lepas, walaupun dengan pesan singkatnya itu.

Tok!

Tok! Tok! Tok!

Biru melirik ke arah pintu, mengecek jam diatas mejanya. pukul sembilan malam.

Begitu Biru membuka pintu. Naren berdiri menyilangkan kedua kakinya sementara salah satu tangannya mengecak pingganya.

"Hehe yuk jalan" Ucap Naren. Senyum Naren yang mengambang hingga menyentuh telinganya. hingga akhirnya Naren menatap Netra Biru, "Nangis lo? muka lo jelek kaya ikan buntel"Ledek Naren.

Biru menghela nafas panjang, akan menutup pintu kamarnya, "Kalo mau ngeledek mending pulang aja sana!"

"Eatss.." Tangan Naren menahan pintu. "Gue bercanda, mau pinjem peluk gak?"

Biru menatap Naren datar, yang di tatap hanya memamerkan deretan giginya.

"Yaudah deh, gue masuk ya?" Ujar Naren yang langsung menerebos masuk ke kamar Biru. ia hanya pasrah saat Naren menerobos paksa untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Biruuuu"

"Hemm" Sahut Biru singkat. Sebenernya suasana hati Biru memang tidak baik.

Naren tidak suka melihat Biru seperti ini, kadang ia selalu berusaha membuat suasana hati sahabatnya itu menjadi baik.

PANGLIMA || Haechan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang