Kata orang tengah malam selalu menjadi tempat segala keributan di kepala kita.
Braga sedang berada di posisi itu, semua yang ada di kepala seperti benang-benang yang kusut tak tau bagaimana meluruskannya.
Kini Abah dan Braga duduk di bale dibelakang rumah Abah. Tempat dimana Braga selalu mendapat petuah dari Abah. Pencahayaan yang kurang dan suara jangkrik, katak yang bersahutan cocok dengan isi pikiran Braga yang berisik.
Braga menghebuskan asap rokoknya ke udara membiarkan isi pikirannya ikut berkelana.
"Abah udah ikhlasin ambu?" Tanya Braga setelah beberapa menit keduanya sama sama diam.
Ambu sebutan istri Abah yang sudah sepuluh tahun silam meninggalkan Abah.
Abah yang sedang menyesap kopi miliknya pun menoleh, "Udah atuh"
"Berarti abah gak cinta sama ambu?" Tawa abah pecah ketika Braga melontarkan pertanyaan itu.
"Ikhlas itu penting Braga, udah iklas bukan berarti udah abis cintanya" Tatapan Abah menatap ke depan tetapi kepalanya memutar jauh kilas balik kisah ke belakang.
"Abah bahkan masih inget, dulu kehilangan hasrat untuk hidup setelah ambu meninggal.." Abah mulai menguntai awal cerita singkat dengan nada yang amat tenang.
"Bahkan Abah sudah coba ikhlas tapi gagal" Abah menyesap kopinya kembali sebelum melanjutkan kalimatnya, "Ternyata Abah salah, sebelum ikhlas, relakan dulu kepergiannya" Abah tersenyum ke arah Braga memerlihatkan garis halus tanda kulitnya dimakan waktu.
"ikhlas itu ada tahapannya, gak bisa dibayar kontan." Lanjut Abah tau apa yang menganggu di dalam kepala remaja itu.
"Braga udah ikhlas bah, kepergian abang, Alaska juga"
"Bagus. dunia gak bisa harus selalu memaklumin kamu, yang kehilangan pasti ada yg lebih kehilangan. tapi bukan berarti harus beradu nasib"
Abah menepuk pundak Braga, "Sing wis lunga lalekna, sing durung teko entenana, sing wis ana syukurana" ( Yang sudah pergi relakanlah, yang belum datang tunggulah, yang sudah ada syukurilah.)
Braga hanya diam. Menyimak dengan sempurna setiap kalimat yang diucapkan oleh Abah.
"Neng Biru perempuan baik-baik dia lembut hatinya, jangan sakitin dia" Celetuk abah.
••••••••••
"Hari ini ujian terakhir kamu kan?" Tanya Hendra. Saat ini mereka sedang berada di meja makan untuk sarapan pagi.
Pandangan Biru yang tadinya fokus pada sarapannya pun menoleh ke arah Hendra."Iya pah"
"Mamah harap kamu gak kecewain papah sama mamah" Timpal Renjani yang sedang menyiapkan bekal.
"Ohiya, papah udah bilang ke teman papah yang di USA, kalo kamu mau papah masukin kuliah ilmu hukum" Ucapan Hendra membuat Biru meletakan sendoknya beradu dengan piring kaca.
"Papah kenapa gak bilang dulu ke Biru? setuju apa enggaknya?" Nada Biru cukup terdengar tinggi. Ada rasa bersalah di relung hati Biru mengucapkan itu dengan nada tinggi.
"Papah selalu aja bikin keputusan sendiri"
"Karna papah tau apa yang terbaik buat kamu"
Biru hanya tersenyum miris mendengar kalimat itu, padahal menurutnya belum tentu baik untuknya juga.
"Biru tanya, itu yang terbaik buat Biru apa buat papah sama mamah?" Tanyanya,
"Kamu ngelawan papah?!" Bentak hendra yang menatap Biru dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGLIMA || Haechan✔️
Teen Fiction❝ Takut mah ke Allah dan abah, selain itu mah sikat aja ❞