23. Supermarket

891 188 13
                                    

"Huft, Gue jadi pesimis, keterima gak yah?" Cila yang berjalan di samping Biru. Biru melirik Cila, lengannya di kalungkan kepundak Cila.

"Pasti kamu keterima Cil, jangan pesimis gitu dong!"

Mereka berdua baru saja keluar dari ruang BK. Berbincang tentang berkas-berkas apa yang nanti untuk di siapkan jika lulus. Cila dan Biru mendaftarkan diri ke universitas internasional namun berbada kampus.

"Ya lo mah Ru, gue yakin keterima. Apalagi lo selalu ikutan internasional science competition. Sertifikat buat applay ke kampus lo udah menjamin bakalan diterima."

Biru mengangkat kedua bahunya, bahwa ia pun sebenarnya sedikit pesimis. Terlebih lagi universitas yang dipilih, kampus yang terbaik. Pilihan dari Hendra.

Sebenarnya Biru pun tak masalah dengan keputusan Hendra menyuruhnya untuk berkuliah di USA. Toh lagian kedua orang tuanya menginginkan yang terbaik.

Muka Cila bener-bener kusut, setelah tadi satu raungan sama saingannya yaitu Saka di ruang BK. Mereka ngambil satu universitas yang sama di University College London.

Saka teman Biru saat mereka berdua pergi ke ISC, cowok jenius yang Biru temuin dan sampe sekarang Biru kadang minta bantuan dari Saka buat ngajarin dan mecahin soal-soal. Tetapi bagi Cila, Saka adalah saingan terberatnya. Mereka berdua jika di satukan pasti akan ada cekcok di antara mereka, atau saat Biru sedang mengikuti quiz, mereka berdua pasti bersaing dengan sengit.

"Gue naksir banget UCL, tapi si Saka jadi orang ketiga." Gerutu Cila.

"Cil, sepinter apa pun Saka, kalo emang rezeki dia bukan disana, dan malah kamu yang keterima, atau dua-duanya keterima?"

"So, Jangan mikir gitu ya? kamu tau gak sih apa yang kamu bilang itu, bisa jadi penyakit iri hati," Biru yang menghentikan langkahnya membuat Cila ikut berhenti.

"Husss, gue gak maksud buat gitu Ru, cuman... ah anying haduh takut deh."

Biru terkekeh pelan melihat muka Cila yang benar-benar panik, takut posisinya akan tergeser oleh Saka.

"Naren sama Braga tau tentang beasiswa ini?"

Biru memang belum ngasih tau tentang dia ikut beasiswa. terlebih tinggal menghitung  minggu, hasilnya akan keluar, dan Biru belum berbicara tentang ini ke Braga, atau pun Naren.   

"I dont really talk about it ke mereka berdua sih... cuma kamu doang yang tau tentang ini, aku gak mau mereka tau sebelum aku keterima, tapi amit-amit gak keterima kan aku yang malu" Biru takut, planning yang selama ini ia buat gagal.

Cila mengangguk seraya membenarkan tas ia gendong.

"Lo yakin gak mau balik bareng?" Tanya Cila saat mereka sudah di area parkiran.

"Yakin!" Jawab Biru yang kemudian beralih menatap ponselnya melihat pesanan ojek onlinenya yang akan tiba.

Biru sebenarnya akan kerumah Braga, setidaknya ia melihat keadaan Braga, dan tak lupa untuk membuat makanan untuk Braga. Tadi di sekolah pun ia tidak melihat Braga, Biru sibuk dengan beberapa urasan mengenai beasiswa yang ia ikuti.

Setelah Cila pergi, tidak berapa lama ojek pesanan Biru datang.

•••••••••


Setengah jam Biru habiskan untuk membeli makanan, walau kebanyakan snack-snack kecil.

"Totalnya 150.000. Kak," Ucap kasir. Biru langsung mengeluarkan kartu debitnya. kebetulan uang cashnya cuma selembar yang warna merah.

"Yah maaf ka, kita lagi gak nerima via kartu ATM." Biru sedikit panik, pasalnya ini pertama kalinya gak bawa uang cash lebih. Biru menoleh ke arah luar biasanya disebelah supermarket ada mesin ATM Tapi tidak ada.

"Yah mas, kurang 50.000 lagi."

"Bentar ya mas," Biru dengan ceketan mengirim pesan kepada Braga untuk datang ke supermarket dekat rumahnya itu.

Jarak dari supermarket ke rumah Braga tidak terlalu jauh, mungkin sekitaran lima menitan Braga datang.

Deheman suara lelaki yang berpakaian sekolah membuat Biru menoleh kebalakang ternyata dari tadi ada yang mengantri.

"Sorry, biar cepet boleh gue duluan gak?" Izin lelaki itu, Biru mengangguk lalu ia menyingkir agar lelaki itu bisa membayar belanjaannya.

Setelah kasirnya menyebut total belanjaan lelaki itu menoleh ke arah Biru. "Kurang lima puluh ribu, kan?" Tanyanya. Reflek Biru mengangguk.

"Kembaliannya biar ke si teteh ini aja bang." Lalu lelaki itu keluar. Biru masih diam melihat gerak gerik lelaki itu keluar.

Setelah transaksi, Biru keluar mencari lelaki itu. Untung saja masih ada di area supermarket. "Tunggu!"

Lelaki yang akan membuka mobilnya menoleh.

"Aku ganti uang kamu, tapi bisa tunggu sebentar?"

Ia menaikan satu halisnya, "Kalo lama, gue gak bisa." Biru gelapan kemudian tak lama melihat Braga ke arah mereka berdua.

Biru menghela nafasnya, untung Braga datang tepat waktu. "Braga, aku pinjem uang kamu dulu ya? buat gantiin uang dia?" Ucap Biru pelan saat Braga di sampingnya.

Braga melirik lelaki itu sebentar kemudian tersenyum tipis, lalu mengeluarkan uang yang Biru pinta. "Thanksnya."

Lelaki itu mengangguk lalu memasuki mobilnya tanpa mengucapkan apapun.

Biru yang akan mengucapkan terimakasih, lelaki itu langsung melajukan mobilnya.

Biru sempat melihat nametag di seragam sekolah lelaki itu, namanya— Haris.

"Kamu kenal dia?" Tanya Braga. Biru menggeleng, "Gak kenal, tapi dia baik, mau minjemin uang."

Braga terkekeh lalu mengusak rambut Biru gemas, "Orang kayak anak kecil ilang, dia kasihan kali liat lo mau nangis di depan kasir." Ledek Braga yang membuat Biru naik pitam.

"BRAGA!!!"

"Apa sayang?"


siaga satu Braga hati-hati ninuninu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

siaga satu Braga hati-hati ninuninu

Haris?

Haris? who??

PANGLIMA || Haechan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang