27. Sampai batas waktu ditentukan

868 171 4
                                    


Suasana sepi pagi buta Braga terbangun saat mendengar latunan seseorang mengaji subuh dari mesjid di sebelah Vila. Braga meregangkan tangannya mengerjapkan matanya melihat ke sekitaran terlihat kawan-kawannya masih tertidur pulas.

Mereka semalam setelah menyantap jagung bakar dan sedikit bermain game, mereka tepar di ruang tengah vila enggan tidur di kamar masing-masing. terlebih lagi Aji yang tak bisa tidur sendirian.

Ia berjalan ke arah dapur mengambil panci kecil yang tersangkut, diisinya air keran untuk memasak air panas membuat kopi. Tangannya bergerak diponsel yang ia genggam sejak tadi, sembari menunggu air yang melagak.

Braga berjalan ke arah teras, tangan kanannya membawa secangkir berisi kopi panas dan tak lupa sarung merek wadimor motif kotak-kotak bertengger di badannya se akan-akan menyelimuti tubuhnya karena dini hari di puncak benar-benar dingin membuat sang empu bergetar, menggigil.

Braga menduduki bokong dikursi kayu jati teras vila, sesekali ia menyapa warga yang melewati vila.

"Eh a' puten.." Salah satu warga yang sepertinya akan pergi kepasar. Braga mengangguk kepalanya, "Mangga bu.." Jawabnya yang akan menyesap kopi panasnya.

"Subuh-subuh udah liat kembang desa aja lo." Celetuk Naren yang baru saja keluar dengan Baju partai dan celana batik panjang. Braga melirik Naren wajah bantalnya tak lupa rambut nya yang masih acak-acakan.

"Noh kembang desa noh, di pohon beringin." Braga menunjuk ke arah pohon biringan besar yang di maksudnya mba kunti. Langit yang masih gelap membuat Naren menggedik ngeri saat duduk di samping Braga.

"Gelo." Umpat Naren yang langsung menyeruput kopi Braga begitu saja. Braga hanya melirik sekilas, sudah biasa baginya satu gelas kopi berbagi.

"Ga?" Panggil Naren, yang terpanggil hanya berdehem enggan melirik lawan bicaranya itu.

Ada angin pelan melewati mereka membuat Braga menaikan sarungnya hingga keleher.

Hening enggan mereka membuka sesi obrolan kembali, mereka berdua hanya menatap dan mengamati burung-burung yang hinggap di atas ranting pohon cemara, berkicau berusaha membangunkan yang masih berkelana dalam mimpinya.

"Gue udah jujur tentang perasaan gue ke Biru." Ucap Naren tiba-tiba tetapi Braga tak terkejut sama sekali.

Braga harus tau tentang ini, tentang perasaannya kepada Biru, dan tentang Biru memang tidak akan bisa mencintainya. pusat semesta Biru hanyalah Braga, ia tak bisa memaksakan segala hal sesuatu yang sudah di tetapkan oleh semesta.

Naren melirik kawannya yang masih sibuk melihat warga yang berlalu lalang. "Lo gak marah gue confess ke Biru?" Braga menoleh halisnya menyatu.

"Ngapain gue marah sama lo? Biru aja sukanya sama gue." Jawabnya yang sambil menegukan kopi yang hampir habis.

Naren tergelak, memang benar apa yang Braga katakan. Biru hanya menyukai Braga. Namun dada sedikit nyeri bahwasannya ia tak bisa membuat Biru menyukainya. Ia tak pernah sedikit pun membenci Braga hanya karna bisa mengambil hati Biru dengan mudah. Ia tidak kecewa dengan Biru bisa semudah itu mencintai Braga.

"Gue gak pernah niatan marah ke lo, lo tau sendirikan? gue dari dulu udah tau lo suka sama dia. Dan di guenya pun gak masalah sama sekali tentang itu. kita sama-sama cowok, Na. gue juga tau kapasitas diri lo sendiri gimana. Lo udah keren mau tahu diri, dan lebih kerennya lo udah jujur tentang perasaan lo yang berkedok 'Sahabat' itu. dan sekarang lo mau berhenti buat ambil hati Biru?"

Naren mengangguk, "Perasaan seseorang gak bisa dipaksain, Ga. gue gak mau Biru hancur karna ego gue sendiri." Finalnya.

Naren sedikit lega dengan tugasnya menjaga Biru sudah tak terlalu khawatir, Karena Braga pun sahabatnya, jika Biru dibuatnya menangis, Naren lah yang maju digarda terdepan tak segan-segan untuk silaturahmi bogeman dengan Braga.

PANGLIMA || Haechan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang