"Gimana? sudah selesai masalahmu dengan Braga?" Tanya Abah menghampiri Lukas sembari membawa dua gelas kopi panas.
Lukas menoleh kemudian ia berdiri dari tempat duduknya untuk mencium punggung tangan Abah. "Gak ada yang harus di selesain bah."
Abah merangkul Lukas diliriknya gelangan yang masih melekat di tangan kiri Lukas, "Jangan bohong sama Abah, udah jelas-jelas gelangmu itu masih ada di tanganmu"
"Ini cuma menghargai pemberian dari Alaska, Bah."
Gelang pemberian Alaska sewaktu itu yang pertanda mereka bertiga menjadi berteman, dulu. Saat itu Lukas dan Braga cukup dekat hingga akhirnya pertemanan mereka rusak akibat ke salah pahaman yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Tentang kematian Alaska yang membuat mereka benci satu sama lain, tentang Bang theo dan wirdan meninggal saat sekolah mereka berkelahi. Masih banyak yang perlu diluruskan diantara mereka berdua, namun, enggan untuk memasang telinga masing-masing hanya untuk menyuarakan kebeneran yang selama ini menjadi kesalah pahaman.
"Menghargai pemberian atau kamu masih ingat perteman kalian?" Abah yang tersenyum kecil menatap Lukas.
Lukas saat bersama abah seperti anak lelaki remaja yang tak tahu apa arti hidup. Namun lain lagi saat berkelahi dengan sekolah sebelah. Yah kata Abah 'Braga dan Lukas itu sama 11, 12"
Lukas mengesap kopinya pelan, diam-diam ia menarik sudut bibirnya pertanda ia rindu perteman dengan Braga dan Alaska. Ia rindu, sangat. "Kita tuh udah rusak bah, gak ada yang harus di perbaiki, kalo kata pepatah nasi udah bubur. mau dijelasin pun emang Braga mau dengerin?"
"Loh kata siapa?"
"Nasi yang sudah jadi bubur memang mutlak tidak bisa dikembalikan lagi. tapi, Satu-satunya cara supaya bisa disantap, ya dimodifikasi jadi hidangan baru"
"Sama halnya dengan pertemanan kalian, walaupun pertemanan kalian tidak seperti dulu, ya setidaknya kalian berdamai dengan diri kalian."
Dan siang hari itu, Lukas paham dunianya bukan perihal ajang untuk membalaskan dendam, masalah-masalah yang silih berganti kesalah paham yang kian rumit, semuanya itu dirinya sendiri lah yang menciptakannya.
Lamunan Lukas tersadar saat Braga memasuki ring tinju. Braga memasuki ring tinju dengan santai sambil memakai hand wrap dan sarung tinju.
Lukas menatap Braga remeh, "Perut lo udah kagak baby tummy lagi HAHAHA- dikemanain dah" Ledek Lukas nyaring terdengar gelak tawanya tempat gym sepi ini.
Braga hanya terkekeh kemudian memainkan lidahnya ke samping di dalam mulutnya.
Yah dulu mereka selalu berlatih tinju bersama saat semua masih baik-baik saja.
Satu pukulan yang hampir kena tepat di wajah Braga namun dengan cekatan Braga menghindari pukulan itu. "Esstt, buru-buru amat lo."Ledek Braga.
Lukas menatap Braga remeh, "Pukul gue sesuka lo dah, satu pukulan satu ke kejujuran." Tawar Lukas mengulurkan tangannya. membuat Braga seperti menimbangkan tawaran Lukas.
Sudah saatnya semuanya harus disuarakan, harus saling mengetahui sisi padang mereka masing-masing, sudah saatnya mereka meluruskan apa yang harus diluruskan. sudah saatnya mereka memperbaiki yang rusak.
Braga menatap wajah Lukas kemudian menerima uluran tangan Lukas, "Deal. Satu pukulan, satu ke jujuran" Saat itu juga mereka sudah bersiap.
Mereka berputar mencari posisi yang tepat untuk sasaran.
BUGH!
Braga melayangkan satu pukulan tepat di wajah Lukas, "BUKAN ABANG GUE YANG BUNUH BANG WIRDAN! BANG THEO YANG NYELAMATIN ABANG LO! SEBELUM TEMEN LO ITU LEMPAR BATU KE KEPALA ABANG!" Teriakan kejujuran yang pertama dengan nafas sedikit kelu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGLIMA || Haechan✔️
Teen Fiction❝ Takut mah ke Allah dan abah, selain itu mah sikat aja ❞