Mungkin kita hanya kedua insan yang sedang dilema akan perasaan kita sendiri. Terlalu bodoh untuk bertahan pada tali yang mungkin sebentar lagi putus. Layaknya seperti menunda perpisahan, padahal perihal waktu, mungkin esok ia akan menghilang. Dan berkata kepada se isi semesta bahwa perasaan kedua remaja tak akan pernah hilang walaupun dipisahkan oleh jarak. perlu kita peringati bahwa semuanya tak ada yang abadi.
"Besok ya?" Ucap Braga setelah membawa Biru ke tempat yang tidak bising, Braga membawa Biru ke area parkiran, Biru yang memintanya.
Biru mencengkram gaun yang ia pakai, matanya sedikit sembab karna tangisan yang ia tahan, enggan menatap Braga.
"Kamu tau?" Suara terdengar bergetar.
Lengkungan sudut bibir Braga masih sama, masih tersenyum.
"Enggak, Kenapa baru bilang?"
Senyumnya yang membuat Biru ingin menghentikan waktu dititik ini saja. Rasanya, tak ingin menghilangkan sorotan kebahagiaan di kedua netranya. Biru ingin selamanya melihat senyuman apik panglima kalau pun ia bisa menghentikan waktu, Biru ingin menghentikannya detik ini saja. Kalau benar selamanya itu tidak ada di dunia ini, setidaknya selamanya waktu yang tersisa yang kini ia miliki bersamanya tolong jangan pernah ambil senyumannya itu.
"Karna aku gak bisa."
Braga memegang kedua bahu Biru, di tatapnya denga lekat. "Kamu bisa, aku bangga sama kamu Biru."
Siapa sangka, Braga masih mengembangkan senyumnya, seolah-olahnya ini hanyalah perihal jarak. Tapi direlung hati panglima, sedikit sesak karna ia tidak tahu apa-apa tentang kepergian Biru esok.
"Sebenarnya aku udah mau bilang dari waktu lama, but i find it really hard to say.. i'm going to move USA."
"Rasanya aku pengen kamu gak tau apa-apa tentang kepergian aku, Ga. Aku gak mau jadi sekian orang yang ninggalin kamu tiba-tiba. Walau aku tau aku cuma pergi buat sementara, tapi jujur kita gaktau seberapa lama kita bertahan kan?" Ucap Biru lirih suasana hati Biru sekarang benar-benar berantakan, detik ini yang hanya ia lakukan adalah pulang, menangis sejadi-jadinya.
"Maaf.." Rasanya sungguh sesak saat menatap kedua netra indah panglima. Sungguh..
Tangan Braga terulur mengenggam kedua tangan Biru. Sorot matanya tidak memperlihatkan ia kecewa pada Biru. "Gak papa ini bukan salah kamu. aku gak pernah sedikitpun marah karena kepergian kamu yang mendadak ini." Sebelum ia melanjutkan perkataannya ia menghela nafas pelan.
"Aku seneng dengernya, mimpi kamu? atau memang mungkin ini mimpi orang tua kamu juga sekarang bener-bener kamu wujudin. Aku inget obrolan kita waktu di kedai bang Jay? kamu ngeluh tentang orang tua kamu. aku inget setiap progres yang kamu jalanin buat wujudin semua mimpi mereka, Dan sekarang you did will got it all, your great!"
"Dan perihal jarak, aku bakal nunggu kamu, butuh berapa tahun aku nunggu? 4 tahun? 5 tahun? atau sampai 7 tahun aku bakal nunggu kamu disini. di kota ini,"
Mereka senyap tanpa berani natap wajah satu sama lain. Makin berat rasanya.
Memangnya ia siapa? tuhan? menentukan garis takdir yang sudah di tatapkan. Braga tahu betul sudah ada hukum alam seperti itu. Manusia silih berdatangan, menjadi pusat kebahagiannya, setelah di genggam, dipaksa untuk melepas. Braga tak ingin sisi egoisnya menguasai dirinya, ia tetap tenang layaknya berdiri tegak diterpa badai. ia tak ingin gadisnya itu berat langkahnya ketika akan melanjutkan studi di sana.
"Jangan tunggu aku Braga, hidup kamu harus tetap jalan semestinya ya?" Biru memberanikan dirinya untuk mengucap kata-kata itu sebelum Braga benar-benar menghilangkan garis lengkungan sudut bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGLIMA || Haechan✔️
Fiksi Remaja❝ Takut mah ke Allah dan abah, selain itu mah sikat aja ❞