Rapuh 11

1.1K 58 1
                                    

"Jam berapa ini?!" suara Fahmi yang terdengar dingin menyambut Laras saat dia baru saja menutup pintu utama. Laras terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan Fahmi.

"Laras! Suamimu sedang bertanya!" suara Fahmi yang naik beberapa oktaf membuat langkah Laras berhenti. Laras membalikkan badannya menghadap Fahmi yang kini terlihat begitu emosi.

"Kenapa baru pulang, Ras!" bentak Fahmi. Laras menutup erat matanya, mencoba menahan amarah.

"Kajian," jawab Laras singkat.

"Kajian apa yang baru pulang jam 9, Ras!" geram Fahmi sambil mengacak rambutnya frustasi.

Sejujurnya Laras takut dengan amarah Fahmi saat ini. Dia belum pernah membuat Fahmi semarah ini. Dan inipun pertama kali baginya setelah bersuami pulang hingga larut malam. Jika saja tidak ada masalah dijalan tadi, pasti Laras sudah sampai dirumah setelah magrib.

"Kamu lupa cara menggunakan ponsel?! Sampai aku hubungi kamu banyak kali tapi tidak ada satupun yang kamu angkat! Iya?!" bentak Fahmi lagi.

"Maaf," cicit Laras. Dia merasa bersalah.

"Tadi ponselku sengaja di silent. Takutnya menganggu ketika kajian," jawab Laras sedikit gugup.

"Kamu kan bisa kabari aku sebelum kamu berangkat, Ras! Aku ini suamimu! Enggak bisa kah kamu menghargai suamimu?! Aku capek, Ras. Sifat kamu sudah berubah. Kamu gak kayak Laras yang dulu. Capek aku ngurus kamu sekarang!" bentak Fahmi. Laras membalas tatapan Fahmi dengan sengit. Hatinya sesak mendengar ucapan Fahmi. Istri mana yang mau diperlakukan seperti itu? 

"Kamu bilang apa, Mas?! Kamu capek ngurus aku! Iya?! Aku begini karena kamu, Mas! Oke, aku salah karena gak kasih kamu kabar sampai aku pulang larut malam, tapi bisakan kamu tanya alasan aku dulu! Tapi ini mana, Mas! Kamu malah langsung bentak-bentak aku dan bilang aku gak hargain kamu!" Laras mengeluarkan segala emosi yang dia tahan. Hatinya begitu sakit mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Fahmi.

Laras menghembuskan nafasnya kasar. "Aku kecewa sama kamu, Mas," lirih Laras lalu meninggalkan Fahmi yang masih mematung. Benar kata Laras, harusnya dia bertanya tentang alasan kenapa sampai istrinya pulang larut malam.

"Ras, ada yang masih mau aku bicarain," Fahmi mengejar Laras dan meraih tangannya. Laras menghempaskan tangan Fahmi dengan kasar. Hilang sudah pertahanan yang dia buat, nyatanya air mata masih terus membasahi pipinya.

Fahmi mencoba menahan amarah yang masih menggebu. Fahmi langsung menarik tangan Laras lagi menuju sofa, tapi kali ini tarikan itu sangat kasar hingga membuat Laras meringis kesakitan.

"Mas, Lepas. Tanganku sakit," lirih Laras.

Fahmi menghempaskan tubuh Laras di sofa dengan kasar. Dia mengambil surat diatas meja dan memperlihatkan pada Laras.

"Ini apa maksudnya, Ras!" emosi Fahmi benar-benar sudah diubun-ubun.

"Aku diterima? Berarti aku besok sudah masuk kerja?" Laras tersenyum tipis saat surat dihadapannya telah dia baca.

Fahmi menutup matanya, mencoba merendam amarah. "Kenapa, Ras. Dari awal aku sudah bilang gak usah lagi kerja," lirih Fahmi sambil menggenggam tangan Laras.

Yah, Laras diterima menjadi seorang dokter umum di Rumah Sakit Dharma Nugraha. Dia sengaja membuat surat lamaran tanpa sepengetahuan Fahmi. Dia ingin menyibukkan dirinya, dia ingin menghabiskan waktunya di luar. Dia lelah, karena rumahnya kini menjadi tempat yang selalu membuat lukanya semakin menganga.

"Aku hanya ingin menyibukkan diri. Aku lelah, Mas." air mata Laras kembali luruh.

"Tapi kamu tidak meminta izin padaku, Ras. Aku ini suamimu. Setiap langkah yang kamu ambil harus ada izinku. Dan aku tidak mengizinkan kamu kerja lagi!" tegas Fahmi.

"Bisa gak sih, Mas, kamu menghargai keputusanku! Aku hanya ingin menyibukkan diri, Mas. Rumah ini sudah seperti neraka bagiku, Mas. Air mataku selalu menetes di sini. Aku ingin menghibur diriku, Mas. Aku capek," tangis Laras semakin pecah. Dia lelah bahkan sangat lelah.

"Aku tetap gak ngizinin, Ras! Aku gak mau kamu capek. Kamu sudah menjadi istri, dan aku sanggup menghidupi kamu! Sekali aku bilang enggak, selamanya akan tetap enggak!" keukeh Fahmi.

"Terserah, Mas. Mau kamu ngizinin ataupun enggak, aku akan tetap kerja. Besok!" tegas Laras sambil menatap tajam Fahmi. Baru saja Laras mau berdiri, tapi Fahmi sudah kembali menarik tangan Laras, membuat empunya tangan kembali terduduk.

"Bisa kan kamu gak usah melawan suami kamu lagi!" bentak Fahmi tepat dihadapan Laras.

"Mas, segala keinginan kamu sudah aku kabulkan, Mas. Semuanya! Apa sulit bagi kamu untuk mengabulkan keingananku ini, Mas? Aku butuh hiburan, Mas. Aku akan membagi waktuku.  Aku hanya ingin meneruskan impianku, Mas." lirih Laras dengan suara bergetar.

Fahmi terpaku melihat Laras yang kini begitu rapuh. Sesakit itu, hingga dia kembali bekerja hanya untuk menyibukkan diri. Mungkin benar, Fahmi egois. Harusnya dia tidak melarang Laras untuk meneruskan impiannya. Sudah cukup dia membuat hati istrinya selalu tersakiti. Mungkin ini saatnya dia membuat istrinya bahagia dan bisa kembali seperti dulu lagi.

Fahmi menghembuskan nafasnya pasrah. "Baiklah. Mas izinkan," ucap Fahmi. Laras langsung menatap Fahmi dengan tatapan berbinar.

"Tanpa paksaan?" tanya Laras memastikan.

"Sebenarnya terpaksa, tapi apapun akan mas lakukan asalkan kamu bisa bahagia. Yang penting kamu tetap menjaga kesehatan kamu," kata Fahmi mengingatkan.

"Janji, Mas. Pasti Laras akan menjaga diri. Terimakasih," ucap Laras lalu memeluk Fahmi.
Fahmi membalas pelukan Laras, mencium puncak kepala Laras berkali-kali.

"Mas sangat mencintaimu, Ras. Tolong jangan buat aku khawatir. Maafkan tadi mas membentakmu. Mas sangat mengkhawatirkan kamu. Tolong jangan seperti ini lagi," lirih Fahmi masih dalam pelukan Laras.

"Insya Allah, Mas. Maafkan Laras juga karena sudah membuat Mas khawatir." lirih Laras.

"Laras ngantuk, Mas." ucap Laras dingin, segera dia melepas pelukannya dan kembali ke Laras dalam mode dingin tak tersentuh.

Fahmi menggelengkan kepalanya. Dia sangat heran dengan sifat istrinya. Baru saja dia bahagia karena Laras kembali pada Laras yang dulu, kini dia sudah berubah menjadi Laras yang dingin lagi.

Namun, dia sudah sangat bahagia. Dia yakin, sedikit demi sedikit pasti Laras akan kembali ke Laras yang dulu lagi. Yang lembut dan sangat mencintai sesamanya.

***

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang