"Abi!" Adiba langsung menghambur kepelukan Abinya saat pintu rumah berwarna coklat itu terbuka.
Dengan sesenggukan, Adiba terus memeluk erat Abinya. Berbeda dengan Laras, yang harus mati-matian menahan air mata."Sayang, abi gak papa. Kamu gak usah khawatir." Fahmi membalas pelukan Adiba dan mengelus punggungnya, sesekali dia mencium puncak kepala Adiba yang tertutup jilbab.
"Diba khawatir banget sama Abi... hiks... hiks...." Lirih Adiba dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
Fahmi melerai pelukan, ditatapnya wajah sayu Adiba. Fikirannya melayang dan jatuh pada perkataan Laras tadi. Dia tidak bisa berpisah dengan Adiba ataupun Laras. Ini sungguh berat.
"Diba, gak rindu umi?" tanya Laras dengan kekehan kecilnya.
"Rindu banget!" Adiba langsung menghambur memeluk Laras erat. Lolos sudah air mata yang sedari tadi Laras tahan. Ternyata begitu sulit menyembunyikan air mata dihadapan anak tersayangnya ini, tapi dia harus kuat. Jangan sampai Adiba tau masalah ini.
"Umi, sayang banget sama kamu, Diba.... " lirih Laras yang masih dalam pelukan Adiba.
Adiba melerai pelukan. Ditatapnya kedua netra Uminya yang sembab."Umi, kenapa mata Umi sembab? Umi kayak nangis semalaman. Terus kenapa sekarang Umi nangis lagi? Apa ada masalah? Wajah Umi seperti menahan sakit yang begitu dalam. Ada apa Umi?" tanya Adiba khawatir. Anak mana yang tidak mengkhawatirkan keadaan wanita yang sudah melahirkannya. Kacau, hanya itu yang bisa didefinisikan dari penampilan dan raut wajah Laras.
Adiba bisa membaca kalau uminya ini sedang tidak baik-baik saja."Umi gak papa, Diba. Kamu tau kan kalau abimu kecelakaan, jelas umi khawatir. Itu yang bikin umi nangis semalaman, tapi untungnya abimu gak papa. Umi baik-baik aja, kok. Kamu gak usah panik gitu," jawab Laras dengan kekehan kecil yang terpaksa dia keluarkan dihadapan Adiba. Sebisa mungkin dia meyakinkan Adiba, bahwa dia baik-baik saja.
'Kebohongan kedua,' batin Laras."Umi gak lagi bohong, kan?" Adiba memicingkan matanya dan menatap lekat Laras, Mencoba mencari kebohongan dari mata sembab uminya.
"Kamu gak percaya sama umi?" tanya Laras dengan senyuman yang melambangkan dia Baik-baik saja.
"Percaya," lirih Adiba pasrah, tapi tidak menutup kemungkinan dia bisa percaya begitu saja. Tentu ada sesuatu yang disembunyikan uminya. Dia bisa melihat dari tatapan uminya, dia tau kalau uminya sedang tidak baik-baik saja.
"Umi mau mandi dulu yah. Kamu sama abi sarapan aja duluan. Tadi umi sudah makan di rumah sakit," kata Laras sambil mengelus lengan Adiba.
"Yahhh.... masa cuman sama Abi. Kan biasanya kita makan bertiga, Mi," keluh Adiba.
"Sayang, umi masih kenyang. Ingat dalam islam gak boleh makan kekenyangan. Jadi kamu makan sama abi aja. Oke," kata Laras sambil mencubit pelan hidung mancung Adiba.
Kebohongan lagi, entah berapa ratus bahkan ribuan kebohongan yang akan keluar dari mulut Laras dan juga Fahmi."Yaudah, deh. Ayo, Bi, kita makan!" Adiba langsung menarik lengan Fahmi. Sedangkan Fahmi yang tau kalau Laras belum makan apa-apa sejak tadi malam hanya mengangguk pasrah dan melangkahkan kakinya dengan berat.
Butiran hangat turun membasahi pipi Laras. Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar sejak semalam. Namun, sebanyak-banyaknya air mata itu, tetap tidak mampu mengobati sakit hati dan kecewanya. Entah sampai kapan kecewa itu akan menggerogoti hati dan juga hidup Laras.
Dengan langkah gontai, Laras menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya.
Diedarkannya pandangan Laras keseluruh sudut kamar ini. Kamar yang penuh dengan kenangan.Laras berjalan mendekati cermin. Ditatapnya wajah sayu dan mata sembab dari pantulan cermin. Wajah yang dulu selalu dihiasi dengan senyuman, kini dihiasi dengan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Tangisan Senja
SpiritualFollow dulu, ya, sebelum baca .... Apa jadinya jika kebahagiaan dalam hubungan halal, harus lenyap seketika hanya karena orang ke tiga? Apa ada yang namanya keikhlasan, jika cinta yang awalnya utuh kini telah terbagi? Bertahan atau melepas? Keduany...