Rapuh 16

1K 44 0
                                    

Seorang gadis dengan balutan gamis berwarna navy dan jilbab berwarna abu sepunggung, duduk dengan mata sembab di bawah pohon manohara. Tidak lupa dengan Al-Qur'an berwarna coklat dengan bentuk minimalis yang selalu menemaninya. Jauh dari penglihatannya, terlihat ratusan santri yang berlalu lalang. Ada yang asik mentadabburi Al-Qur'an, ada yang sedang berceloteh ria dengan tumpukan snack dihadapannya, ada yang menyapu dan menyiram tanaman, ada yang asik dengan senandung shalawat, dan saling mengejar untuk menghibur diri.

Gadis itu mengusap air matanya yang lagi-lagi meluncur tanpa izin. Bukan dia tidak kerasan ada di sini hingga membuatnya selalu murung, tapi alasan yang membuatnya ada di sinilah yang membuatnya tidak jarang mengeluarkan bening kristal dari pelupuk matanya.

Gadis yang tidak lain dan tidak bukan itu adalah Adiba Kanza Az-zahra. Ada kalanya dia selalu bersembunyi dibalik topeng senyum cerianya, tapi dia hanyalah seorang gadis lemah. Sekuat apapun dia mencoba bertahan dengan topengnya, tapi siapa sangka topeng itu akan jatuh ketika tidak ditempel dengan baik diwajahnya. Seperti saat ini, entah sejak kapan topeng itu jatuh dan hilang, dan lebih buruknya lagi dia tidak atau belum menemukan pengganti dari topengnya yang hilang.

Flashback on.

"Aku minta maaf. Aku tidak tau kalau akan jadi seperti ini, tapi ini yang Allah tetapkan untuk kita, untuk keluarga kita. Aku mohon, ikhlaskan semuanya. Anggap semuanya tidak pernah terjadi. Aku cinta sama kamu, Mi. Dan selamanya akan tetap begitu. Kamu lihat bagaimana dulu pengorbananku untuk dapatkan kamu, dan aku gak akan lepaskan kamu begitu saja. Kamu bidadariku, Sayang. Hanya kamu,"

"Ada apa ini? Apa masalahnya sebesar ini hingga Umi dan Abi bertengkar hebat? Apa yang aku tidak ketahui?" lirih Adiba dengan mata berkaca-kaca. Yah, Adiba kini hanya diam mematung didepan pintu kamar Laras dan juga Fahmi yang tertutup rapat. Bukan maksud lancang hingga Adiba mendengarkan perdebatan itu, niat awalnya adalah dia ingin menemui Uminya yang terlihat memendam sesuatu hingga matanya sembab sekaligus dia ingin bermanja dengan uminya sebelum dia pergi. Namun, yang Adiba dengar membuat dia urung untuk sekedar mengetok pintu. Biarlah dia mencoba mendengarkan permasalahan apa yang sedang dihadapi keluarganya.

"Semuanya sudah hancur, dan kamu dengan mudahnya menyuruhku untuk menganggap semuanya tidak pernah terjadi?. Sakit hatiku dan kamu dengan mudahnya mengatakan seperti itu!"

"Kamu lihat, kamar ini, kamar yang menjadi saksi cinta kita dulu. Dulu sebelum masalah ini terjadi."

"Aku akan pindah kekamar tamu besok setelah kamu mengantar Adiba ke pesantren. Ingat! Jangan sampai Adiba tau masalah ini. Cukup aku yang hancur, tapi tidak untuk anakku,"

Mendengar itu, adiba mengernyitkan dahinya bingung. Kenapa dia tidak boleh sampai tau? Apa dia dimasukkan ke pesantren hanya untuk menghindarkannya dari masalah ini? Fikiran Adiba terus diserbu dengan berbagai macam pertanyaan.

"Enggak, Ras. Kamu gak akan pindah dari kamar ini. Ini adalah kamar kamu dan selamanya akan begitu. Kamar Adiba dan kamar kita tetap disini,dilantai atas. Kalau pun nanti Nisa aku bawa ke rumah ini, dia tidak akan tidur di kamar ini.  Nisa akan tidur di kamar tamu yang ada dibawah tangga, dia hanya istri kedua aku, Mi. Kamu yang segala-galanya untuk aku. Selamanya akan tetap begitu!"

Deg!

"Ni-nisa? A-abi...," Adiba mematung didepan pintu kamar abi dan uminya.  Dia mencoba menutup kuat bibirnya untuk menahan isak. Hancur sekali saat mendengar itu dari abinya sendiri. Abi yang sangat dia sayangi telah menghancurkan hati uminya,  menghancurkan hidup uminya dan yang pasti telah menghancurkan anaknya sendiri.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang