"Saya terima nikahnya Khairunnisa binti Abdul Salim, dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah...." serentak ucapan para saksi yang menyaksikan ikrar suci. Walaupun hanya terdiri dari dokter, perawat, dan penghulu tapi sudah memenuhi rukun dalam pernikahan.
Laras tersungkur begitu saja didepan pintu yang dibiarkan terbuka. Suaminya mengucapkan janji suci dengan gadis lain. Gadis yang kini telah sah menjadi madunya.
Hancur sudah pertahanan Laras. Hatinya sakit bahkan lebih sakit dari ditusuknya ribuan jarum kedalam hatinya.
Hancur sudah kehidupannya, hancur sudah keluarganya.Kerlipan bintang yang dulu menyaksikan betapa bahagia keluarganya, kini telah lenyap tertutup awan gelap.
Bagaimana mungkin dia akan tinggal satu atap bersama madunya?
Tidak! Itu tidak mungkin!
Bagaimana nanti tanggapan Adiba?
Tidak! Pasti hatinya hancur jika tau Abinya menikahi gadis lain!
Tidak! Bagaimana mungkin semuanya hancur hanya dalam beberapa jam?
Keluarga yang dulu ia jaga, selalu menaburkan tawa kini tinggal kenangan dan tergantikan dengan ribuan luka.
Tidak! Ya Allah..."Sayang! Laras! Umi! bangun, Mi!" Fahmi terus menepuk pipi Laras yang basah dengan air mata.
Fahmi melihat guratan kekecewaan dari wajah ayu sang istri yang kini tersungkur tidak sadarkan diri. Cairan bening mengalir deras dari mata tajamnya."Sayang... bangun! Maafkan Abi, Sayang. Aku mohon bangun...." lirih Fahmi disela isaknya.
Dokter dan para perawat segera membawa Laras ke ruang inap. Memasangkan jarum infus ditangan mulusnya.
Bukan hanya Laras yang hancur, tapi juga Fahmi. Bahkan dia sangat hancur. Dia yang membuat keluarganya terluka. Dia yang menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Dia yang membuat istri dan anaknya akan membencinya. Tapi dia juga tidak tau harus berbuat apa. Disisi lain dia harus bertanggungjawab tapi disisi lain dia harus merelakan keluarganya hancur.
"Pak Fahmi, Bapak Abdul Salim sudah tiada, dia meninggal, Pak!" ucap salah satu suster yang sedari tadi mengurusi Abdul Salim.
"Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un... Ya Allah..." Lirih Fahmi, tanpa aba-aba Fahmi segera meninggalkan ruangan Laras dan berlari menuju ruangan Pak Abdul Salim.
"Abah!" teriakan itu yang menyambut Fahmi saat ia membuka pintu.
"Bagaimana ini?! Abah! Nisa gak mau tinggal sendiri, Bah! Bangun, Bah! Nisa butuh Abah!" teriak gadis itu sambil mengguncang kuat tubuh lelaki yang sudah tak bernyawa.
"Innalillahi Wainna Ilaihi Rohi'un.... " lirih dokter itu, lalu mencabut infus dan oksigen yang melekat ditubuh abah.
"Abah!" teriak Gadis itu. Gadis itu limbung dan segera mungkin Fahmi menangkap tubuh Nisa. Dipeluknya dengan erat, memberikan kekuatan kepada istri mudanya itu.
Nisa terus memberontak dalam pelukan Fahmi.Nisa mulai merasa tenang walaupun isakkan terus terdengar dari bibir ranumnya.
"Saya yang akan mengurus jenazah Abah hingga beliau dikebumikan," ucap Fahmi setelah melepas pelukan.
Nisa hanya menganggukkan kepalanya lemah dengan tatapan terus menuju kepada abahnya yang kini sudah terbaring tanpa nyawa.****
Tepat pukul 8 pagi, jenazah Abdul Salim telah dikebumikan.
Fahmi mendatangi Laras yang masih diruang inap, Nisa pun ikut mengunjungi Laras.Dibuka perlahan pintu ruang inap Laras, terlihat Jelas Laras menatap pelapon rumah sakit dengan tatapan kosong tapi air mata terus mengalir.
"Laras...," lirih Fahmi.
Laras memiringkan tubuhnya untuk membelakangi Fahmi dan juga Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Tangisan Senja
SpiritualFollow dulu, ya, sebelum baca .... Apa jadinya jika kebahagiaan dalam hubungan halal, harus lenyap seketika hanya karena orang ke tiga? Apa ada yang namanya keikhlasan, jika cinta yang awalnya utuh kini telah terbagi? Bertahan atau melepas? Keduany...