Rapuh 6

1.3K 50 1
                                    

"Umi, Diba mau pergi ke rumah Dinda yah. Ada tugas soalnya." pamit Adiba lalu duduk dihadapan Laras.

"Kamu gak perlu pergi, Diba." Fahmi yang tiba-tiba datang dan duduk disamping Adiba, membuat Adiba mengerjap matanya heran.

"Maksudnya Abi apa?" tanya Adiba polos.

"Diba ingat kan kalau dulu Diba mau jadi hafidzoh dan kasih Umi sama Abi mahkota?" kini Laras yang mencoba memberikan keyakinan pada Adiba.

Adiba hanya menganggukkan kepalanya pelan.

"Abi dan Umi mau menuruti keinginan kamu, Nak. Kamu sekarang sudah 16 tahun dan hafalan kamu juga bagus, jadi kami mau masukkan kamu ke pesantren," jelas Laras sambil mengelus puncak kepala Adiba.

"Kami akan masukkan kamu ke pesantren Abi dulu. Ustadz di sana kenal baik sama Abi, bahkan sudah Abi anggap sebagai ayah Abi. Kamu akan berangkat besok, Sayang." jelas Fahmi.

Butiran hangat turun begitu saja melewati pipi mulus Adiba. Dia ingat betul dengan cita-citanya itu, tapi baginya ini terlalu mendadak. Bahkan dia sendiri belum memikirkan ini.

"Tapi kenapa besok, Bi. Ini mendadak. Adiba belum persiapkan diri Diba," lirih Adiba yang langsung menghambur memeluk Laras.

"Sebenarnya ini sudah Abi dan Umi persiapkan sejak Abi pergi ke Bogor, Sayang. Niatnya kami mau kasih tau kamu secepatnya, tapi karena Abi kecelakaan, jadi kami lupa mau kasih tau kamu," lirih Laras dengan deraian air mata. Berat memang melepaskan anak tersayangnya, tapi dia melakukan semua ini demi kebahagiaan anak semata wayangnya itu.

"Abi sudah urus surat pindah kamu, Nak. Abi juga sudah daftarkan kamu di pesantren. Besok kita berangkat, karena hari jum'at kamu sudah harus ada di sana." jelas Fahmi lagi sambil mengelus puncak kepala Adiba. Sekuat mungkin dia menahan air matanya yang siap untuk lolos begitu saja.

"Diba berangkat besok yah? Berarti malam ini terakhir Diba ada di rumah ini bareng Umi dan Abi?" tanya Adiba disela isaknya.

Laras tak menjawab, hanya air mata yang dia keluarkan dari mata indahnya. Sedangkan Fahmi hanya menganggukkan kepalanya lemah.

"Diba mau berangkat besok, yang penting Abi dan Umi antar Diba sampai pesantren," pasrah Adiba.

"Iya, Sayang. Pasti," jawab Fahmi.

"Sekarang persiapkan semua pakaian kamu dan barang-barang yang mau kamu bawa yah." ajak Laras.

Adiba hanya menganggukkan kepalanya pasrah.

"Umi, kenapa mendadak?" tanya Adiba lagi saat dia dan Laras sudah berada didalam kamar Adiba. Adiba yakin, pasti ada yang tidak beres dikeluarganya.

"Kan tadi umi sudah jelaskan, Sayang," jawab Laras sambil mengelus punggung tangan Adiba.

"Tapi firasat Adiba bilang kalau ada sesuatu yang ditutupi sama Umi dan Abi," kata Adiba dengan kerlipan mata polos.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang