Rapuh 22

1.3K 57 40
                                    

Setelah jadwal operasi selesai, Laras merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangannya. Dia cukup lelah dengan hari ini. Untuk hatinya, jangan ditanyakan lagi karena hatinya lebih lelah dari kata lelah. Entahlah. Intinya seperti itu yang saat ini Laras rasakan

Fikiran Laras berkelana mengingat kembali semua ucapan Umi tadi. Nasihat-nasihat itu terus saja menghantuinya. Dia harus menyelesaikan masalah ini dan membiarkan hatinya mulai untuk menerima pernikahan Fahmi. Pernikahan yang bukan hanya mimpi buruk, tapi juga kenyataan yang takkan pernah bisa terelakkan.

Dengan langkah pasti, Laras mulai menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju parkiran. Dia harus pulang saat ini juga.

"Tidak-tidak! Jangan pulang, lebih baik aku ke kantor Mas Fahmi saja," monolog Laras saat dia sudah duduk tenang di kursi kemudi.

"Hemmm... bawa apa, yah?" tanya Laras pada dirinya sendiri sambil memukul-mukul dagunya seolah sedang berfikir keras.

"Aha! Aku tau harus bawa apa!" girang Laras lalu menjalankan mobilnya tidak lupa dengan senyum yang menghiasi wajah ayunya.

Laras menghentikan mobilnya tepat didepan toko donat dengan aneka rasa. Fahmi adalah salah satu penggemar donat dengan aneka rasa. Bahkan dia bisa menghabiskan satu box donat yang berisi 15 buah.

Laras mulai memilih aneka rasa dan hasilnya dia pergi dengan tiga box donat di tangannya. Dia yakin, Nisa pasti menyukai donat juga. Mungkin ini adalah awal yang baik untuk hubungannya antara dia dan Fahmi dan juga dia dan Nisa.

"Siang,  Bu Laras." sapa resepsionis wanita yang menutup mahkotanya dengan jilbab fasmina.

Perlu diketahui, khusus diperusahaan Fahmi seluruh pegawai wanita wajib memakai jilbab, dan diwajibkan juga setiap waktu shalat tiba seluruh pengawai harus shalat berjama'ah di masjid yang memang sengaja Fahmi buat untuk shalat para karyawannya dan juga klien yang mengunjungi perusahaannya.

Fahmi selalu berusaha untuk mengutamakan agama diatas segalanya. Karena baginya, siapa saja yang mendahulukan agama, maka dunia akan mengikutinya.

Dia ingin setiap langkah dalam mengembangkan perusahaannya, selalu mendapat ridho dari Allah SWT.

"Pak Fahmi tadi ke masjid, Bu. Mungkin sebentar lagi datang," ucap resepsionis itu yang melihat Laras hanya mematung dihadapannya seperti melamunkan sesuatu.

"Eh! Iya, maaf saya melamun," jawab Laras kikuk sambil menggaruk ujung hidungnya. Begitu lah Laras, kalau sedang terciduk karena melakukan hal konyol dia akan refleks menggaruk ujung hidungnya dengan tatapan polos dan menggemaskan. Resepsionis itu hanya tertawa lirih. Istri bosnya ini selain cantik yang berlebih juga menggemaskan.

"Saya langsung ke ruangannya saja. Jangan bilang bos kamu, ya,  kalau aku ke sini," pinta Laras yang langsung di angguki oleh resepsionis itu.

Laras menuju lift dan menekan angka dua puluh untuk menuju ruangan suaminya. Jangan lupakan dengan paper bag yang berisi satu box donat, karena dua box lagi sengaja Laras tinggal di mobil.

"Lama aku gak ke ruangan ini," monolog Laras sambil mengelus meja kerja Fahmi dan mengambil foto pernikahannya yang sejak awal memang diletakkan di mejanya. Laras sengaja duduk di bangku kebesaran milik suaminya dengan membawa jas yang Fahmi tinggalkan di kursi itu.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang