Rapuh 15

1.1K 50 1
                                    

"Mas, aku bawa mobil," lirih Laras sambil menatap Fahmi yang membukakan pintu mobil untuknya, sedangkan Fahmi hanya menatap Laras datar.

Tanpa banyak bicara lagi, Laras langsung memasuki mobil dengan wajah cemberut. Fahmi benar-benar menyebalkan ketika cemburu. Padahal dia tidak saling bertegur sapa dengan Dokter itu, tapi bisa-bisanya dia cemburu hingga seperti ini.

"Mas...," cicit Laras ketika Fahmi masih belum meliriknya, dia hanya fokus kedepan.

"Mas, ihhh...." rengek Laras lagi. Ingin sekali dia mencakar wajah Fahmi, tapi dia urungkan ketika sadar kalau neraka akan menantinya ketika dia berani durhaka kepada suaminya.

"Apa?" Fahmi melirik Laras sepintas, masih dengan wajah datarnya.

"Aku itu gak tau, Mas. Kalau Om nya Syila itu, Dokter Syarif," lirih Laras mencoba menjelaskan.

"Ohhh... jadi namanya, Syarif?" datar Fahmi. Laras hanya mengangguk lemah sebagai jawabannya.

"Ck. Bunda!" sindir Fahmi yang masih terdengar jelas oleh Laras.

"Syila sudah tidak memiliki orangtua, Mas. Dia hanya tinggal bersama Dokter Syarif, dan dia sangat rindu sama orangtuanya. Karena tadi aku yang nolongin dia waktu dia jatuh, terus mungkin dia merasa nyaman aja dan rindu kasih sayang mamanya makanya dia panggil aku bunda," jelas Laras dengan wajah sendu, membayangkan betapa malangnya nasib Syila. Anak yang manis, tapi harus terpisah oleh orangtuanya diusianya yang masih terlalu kecil.

"Aku juga rindu Diba, Mas. Makanya aku Mencoba menyalurkan rasa rinduku itu melalui Syila. Aku juga ingin... punya anak lagi...." air mata yang Laras tahan sedari tadi akhirnya menetes juga, membasahi pipinya yang kini semakin tirus.

Fahmi yang mendengar isak Laras, segera meminggirkan mobilnya. Setelah mobil berhenti, Fahmi menarik Laras kedalam pelukannya. Pelukan yang menghangatkan untuk Laras.

"Maaf...," Lirih Fahmi.

"Jangan menangis, Ras. Aku sakit lihat kamu seperti ini, aku mohon," lirih Fahmi lagi sambil mencium puncak kepala Laras berkali-kali.

"Tapi... a-aku gak bi-bisa kasih kamu a-anak.... hiks.. hiks...," ucap Laras dengan terbata-bata karena isaknya yang semakin kencang.

"Kita sudah punya Adiba, Sayang. Adiba sudah cukup untuk aku. Kamu dan Adiba sudah menyempurnakan hidup aku, Ras." Fahmi mencoba memberi Laras pengertian, walaupun jauh dalam lubuk hati Fahmi, dia pun merindukan sosok anak kecil yang akan menjadi candu dalam rumahnya

Isakkan Laras mulai tak terdengar. Badannya pun tak lagi bergetar seperti tadi. Laras sudah mulai tenang, sepertinya. Fahmi melepas pelukannya, dia menatap tepat di netra Laras seolah mengatakan kalau dia bahagia saat ini.

"Mas, kamu bisa berkata baik-baik saja dan bahagia dengan keluarga kita, tapi mata kamu enggak,Mas. Aku tau kamu rindu sosok anak kecil yang akan menjadi obat lelahmu sepulang kerja, aku tau, Mas." mata Laras mulai kabur dengan air mata, sekuat apapun dia menahan air mata, tapi air mata itu tetap bisa merobohkan pertahanannya lagi dan lagi.

"Jangan pernah bohongi istrimu ini, Mas. Kita berumah tangga bukan hanya satu atau dua tahun, aku menemani kamu sudah belasan tahun, Mas. Aku tau apa yang kamu rasakan," Laras menggigit bibirnya kuat, menahan isak yang bisa meluncur bebas melalui bibirnya yang mungil.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang