Rapuh 9

1.5K 59 7
                                    

Semilir angin menerbangkan pasir-pasir putih yang halus hingga bergerak bebas tanpa arah.
Diujung pandang sana, ada sebuah perahu nelayan yang bergerak tanpa arah karena angin yang berhembus.
Segala aktifitas laut dihadapan itu, tak pernah lepas dari sepasang mata yang mulai kabur karena air mata.

Lelah, bahkan sangat lelah. Sepasang mata yang dulunya selalu bersinar kini terasa begitu perih karena air mata yang tak lelah untuk menetes

Dia butuh kawan untuk saat ini. Dia butuh seseorang untuk tempatnya bersandar saat ini. Dia butuh tangan untuk menghapus air matanya saat ini, tapi dia sadar tidak semua orang peduli dengan masalahnya saat ini.

Dulu, ketika ada masalah dia akan meminta nasihat kepada Umi-mertuanya, tapi setelah Umi lebih dulu menghadap Sang Kuasa, segala keluh kesah Laras, dia harus menanggungnya sendiri.
Yang kini selalu ada disampingnya adalah mamanya, mama yang selalu mengetahuinya jika dia sedang tidak baik-baik saja.
Tidak mungkin dia mengatakan semua ini pada mamanya. Tidak mungkin dia membiarkan wanita yang melahirkannya, membenci suaminya sendiri.

Namun, dia lelah menanggung masalah ini sendirian. Kini hanya Allah tempatnya bersandar, hanya Allah tempatnya mengeluh, hanya Allah yang tau betapa rapuhnya dia saat ini.

Ijab Qobul yang terucap dari bibir Fahmi dengan menyebut nama wanita lain terus terngiang ditelinganya. Jujur, dia ingin nyawanya diambil saat ini juga karena dia sudah benar-benar menyerah, tapi lagi-lagi dia kalah dengan bayangan yang tergambar jelas bagaimana hancurnya Adiba saat mengetahui ayahnya telah menikah lagi. Hanya Adiba alasan dia masih bertahan, hanya Adiba alasan dia terlihat baik-baik saja.

Laras menghembuskan nafasnya kasar, dia lemah untuk saat ini.
Laras menghapus air matanya kasar, sudah cukup untuk hari ini, sudah cukup air matanya terbuang untuk hari ini. Dia yakin, hari esok dan seterusnya akan lebih menyakitkan dari hari ini.

Laras yang semula duduk di gazebo pantai, segera berdiri dan melangkah gontai menuju mobilnya.
Namun, langkah Laras berhenti seketika ketika dia melihat seorang pria dihadapannya. Dia datang dengan rahang yang mengeras, kepalan tangan yang kuat hingga kukunya memutih, dan nafas yang terengah-engah. Terlihat jelas dia menahan amarah.

Fahmi, yah dia adalah Fahmi, suaminya. Terdengar Fahmi menghembuskan nafasnya perlahan, kepalan tangannya mulai terlepas. Fahmi berjalan mendekati Laras dan langsung memeluk erat Laras, walaupun dia tak membalas sama sekali pelukan dari suaminya.

"Aku dari tadi cari kamu, Mi. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku khawatir. Kenapa kamu gak kasih kabar, kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi. Segitu bencinya kamu sama suamimu sendiri? Aku harus bagaimana lagi agar kamu mau memaafkanku?" suara Fahmi bergetar. Dia mencoba menahan air mata yang hendak menetes. Dia terlalu menyesali perbuatannya yang menyebabkan rumah tangganya kini berada diujung tanduk.

Fahmi melepas pelukannya, dia menatap lekat bola mata milik Laras. Dia sangat merindukan mata itu, dia merindukan wajah berseri istrinya, dia merindukan lengkungan senyum dibibir ranum istrinya, dia merindukan sikap manja istrinya, dan dia merindukan semua yang berhubungan dengan istrinya. Sangat rindu.

Fahmi mencium kening Laras, dia mencoba menyalurkan rindu yang semakin membuncah.

"Aku mau pulang." Laras akhirnya mengeluarkan suaranya. Segera Laras menarik tubuhnya dari hadapan Fahmi dan berjalan cepat menuju mobilnya.

Fahmi mematung melihat Laras lagi dan lagi meninggalkannya. Dia takut suatu saat Laras akan benar-benar meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi.
Segera Fahmi menghapus fikiran buruk itu, dia berlari menuju mobilnya dan mengejar mobil yang dikendarai Laras. Dia harus memastian Laras benar-benar pulang.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang