Rapuh 7

1.3K 55 3
                                    

Disinilah kami berada, di Dalem milik penguruh pesantren Al-Fattah.

"Jadi, Ndok Diba mau tinggal di dalem saja atau mau di asrama?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik. Khadijah, Istri dari Zaenal Al-Fattah, pemilik pondok pesantren Al-Fattah.

Adiba melihat Laras sebentar, Laras yang faham dengan tatapan anaknya hanya menganggukkan kepala.

"Adiba tinggal di asrama saja, Nyai. Biar bisa kumpul sama anak-anak yang lain," jawab Adiba dengan sopan.

"Jangan panggil nyai. Panggil Umi saja dan Kiai kamu panggil Abi saja. Biar sama kayak ayah kamu yang panggil kami dengan sebutan Umi dan Abi." pinta Umi Khadijah.

"Benar kata umi, jangan sungkan-sungkan sama kami." tambah Abi Zaenal dengan senyum ramahnya.

"Kamu beneran gak mau tinggal di sini saja?" tanya Umi khadijah lagi.

"Iya, Mi," jawab Adiba dengan lembut, tidak lupa dengan senyum khasnya yang menambah kecantikannya meningkat.

"Yasudah kalau begitu, tapi kalau ada apa-apa langsung kasih tau umi dan abi, yah." seru Umi Khadijah dengan sedikit kecewa.

"Maaf yah, Umi. Tapi nanti pasti Diba sesekali nginep di sini, nemenin Umi," kata Adiba dengan cengiran khasnya.

"Umi bakal nungguin Diba terus," balas Umi Khadijah dengan wajah merekah.
"Umi ingin banget punya anak perempuan, tapi belum rezeki. Jadi, Umi mau nganggap Diba putri umi, maukan?" tanya Umi Khadijah dengan tatapan penuh harapan.

"Masyaallah, Umi. Pasti Diba mau. Diba seneng banget malahan," jawab Adiba dengan semangat dan wajah merekah.

Umi Khadijah tersenyum hangat lalu memeluk erat Adiba, sesekali mencium pipi chubby Adiba.
Baginya Adiba adalah anak yang begitu manis dan sangat berbakti kepada orangtuanya.

Setelah beristirahat sekitar 1 jam, Laras dan Fahmi berpamitan untuk pulang dan menitipkan Adiba kepada Umi Khadijah juga Abi Zaenal.

Laras tak mampu lagi menahan air matanya ketika bertatapan dengan Adiba. Dia begitu rapuh saat ini. Diapun tak mengerti mengapa air matanya selalu saja menetes, padahal dulu air mata ini tak pernah membasahi pipinya kecuali air mata bahagia. Tapi kini, air mata itu terasa begitu sulit berhenti, dan hanya air mata itu yang menjadi saksi betapa lemah dan rapuhnya Laras saat ini.

"Umi pulang, Sayang. Jaga diri kamu baik-baik. Umi akan sering-sering kasih kabar ke kamu. Nurut sama Umi Khadijah dan Abi Zaenal. Sekarang kamu sudah menjadi tanggungjawab mereka. Umi sayang sekali sama kamu, Diba," lirih Laras dengan deraian air mata dalam pelukan Adiba. Sesekali dia mencium puncak kepala Adiba yang tertutup jilbab berwarna lavender.

"Umi...." rengek Adiba dengan sesenggukan. Berat memang berpisah dengan orang tersayang, tapi dia melakukan ini semua demi impian mulianya dan menolong kedua orangtuanya dari panasnya api neraka.

"Diba...." lirih Fahmi dengan tatapan sendu.

Adiba melerai pelukannya dari Laras dan segera memeluk Fahmi dengan erat dengan sesenggukan yang semakin kencang.

"Jaga diri kamu baik-baik," lirih Fahmi sambil menghapus air matanya.

"Abi... hiks... Adiba bakal rin-du... hiks...." rengek Adiba disela sesenggukannya.

Fahmi melerai pelukannya, ditatapnya dengan lekat wajah anak kesayangannya. Matanya begitu meneduhkan seperti milik Laras, itu yang membuat Fahmi selalu merindukan Adiba.

"Abi sama Umi pulang dulu, yah. Jaga kesehatan kamu." pesan Fahmi. Adiba hanya menganggukkan kepalanya lemah.

Fahmi dan Laras mencium tangan Umi Khadijah dengan abi Zaenal dengan takdim.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang