Rapuh 3

1.5K 62 3
                                    

Sepasang mata indah menatap lekat kearah lautan. Deburan ombak yang saling mengejar dan berlomba untuk mencapai bibir pantai, seraya menikmati semilir angin yang membawa perahu sampai titik tengah.

Senyum yang terpancar perlahan memudar, tergantikan dengan raut kekhawatiran yang datang perlahan.

Adiba. Dia adalah Adiba. Gadis cantik nan anggun yang selalu mendahulukan kebahagiaan kedua orangtuanya dibanding kebahagiaannya sendiri. Karena menurutnya kebahagiaan orangtua adalah kebahagiaan yang tiada tara untuknya.

Ini adalah hari dimana Abinya-Fahmi, berjanji akan pulang dari Bogor.  Adiba sengaja mencari udara segar di pantai yang berjarak 15 km dari rumah.

Entahlah, sejak kepergiannya Fahmi ke Bogor, Adiba selalu merasa cemas. Fikirannya terus melayang ke Abi tersayangnya itu.
Begitu juga dengan Umi nya. Umi-Laras, kerap kali menangis demi menanti sang suami datang.

Kepergian Abi kali ini, membawa raut kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran untuk Adiba juga Laras.

Adiba hanya selalu berdo'a agar Abinya selalu diberi keselamatan.

"Hufttt... " Adiba menghembuskan nafasnya kasar.

"Abi, baik-baik di jalan. Adiba sama Umi kangen banget sama Abi," lirih gadis itu. Butiran bening menetes begitu saja tanpa meminta izin darinya.

"Diba khawatir sama Abi. Gak tau kenapa, tapi Diba seperti punya firasat buruk. Gak biasanya Diba begini," ucapnya sambil menunduk.
"Tapi, Diba yakin, Abi pasti baik-baik aja dan bentar lagi Abi sampe rumah." ucapnya lagi serasa memaksa tersenyum.

"Diba, mau pulang aja deh. Kasian Umi pasti nunggu Abi sendiri," lirihnya sambil melirik jam tangan yang melingkar manis ditangan kirinya.
Tepat pukul 5 sore, Adiba segera menuju parkiran motor dan menaiki motor vano miliknya.

***

"Assalamu'alaikum, Bi. Kenapa telfonnya umi gak diangkat dari tadi?" suara Laras sedikit tercekat, dia sangat khawatir karena Fahmi tidak mengangkat telfonnya sejak tadi. Untungnya sekarang Fahmi mengangkatnya, kalau tidak mungkin Laras akan guling-guling sambil menangis.

"Wa'alaikumsalam. Maaf, Mi. Tadi abi lagi salat asar. Ini Abi sudah di jalan. Insya Allah, satu jam lagi abi sampe rumah, Mi."

"Syukurlah, Bi. Umi kira abi kenapa sampe telfonnya umi gak diangkat. Yasudah abi hati-hati dijalan,yah. Umi mau masak dulu, biar abi nanti sampe rumah langsung makan."

"Iya, Mi. Umi yang matiin telfonnya yah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Baru saja Laras hendak memencet tombol merah, dia dikejutkan dengan suara keras dari seberang sana yang masih terhubung dengan Fahmi suaminya.

"Astaghfirullah!" suara Fahmi terdengar jelas. Suara yang penuh kekhawatiran.

"Abi! Abi ada apa?! Astaghfirullah! Abi!" Laras panik mendengar teriakan Fahmi dari telfon.

"Allahu Akbar!"

Ciiittt!!!

Brakkk!!!

Tubuh Laras luruh begitu saja. Kakinya tak mampu menahan berat badannya. Segala kecemasan selama ini telah terjawab.

Isakan tangis semakin pilu, membuat siapapun iba mendengarnya.
Telfon Fahmi masih belum dia matikan.
Laras mendengar dengan jelas betapa ramai diseberang sana.

Banyak yang memekik kaget. Entah separah apa kondisi suaminya saat ini.

"Halo! Assalamu'alaikum! Apa ini istri dari pemilik telfon?" tanya seseorang diseberang sana. Mungkin dia menemukan ponsel Fahmi yang masih terhubung dengan panggilan Laras.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang