Rapuh 13

1K 49 0
                                    


"Tumben Mas Fahmi sudah pulang," lirih Laras ketika melihat mobil Fahmi sudah terparkir di garasi. Tidak biasanya Fahmi pulang lebih awal seperti ini. Biasa dia pulang dari kantor sekitar jam setengah enam atau bahkan jam enam. Tanpa memikirkan lebih mendalam mengapa Fahmi pulang awal, Laras segera mengambil langkah menuju pintu.

"Assalamu'alaikum," salam Laras, tapi tidak ada yang menjawab salamnya. Dengan langkah santai, Laras menuju dapur dan meletakkan paper bag berisi bubur ayam diatas meja makan.

"Nyonya, sudah pulang? Maaf, Nya. Bibi gak denger suara mobilnya Nyonya, jadi bibi gak bukain pintu," kata Bi Minah dengan menundukkan kepalanya.

"Gak papa, Bi. Lagian Laras bisa buka pintu sendiri kok," kata Laras mencoba meyakinkan Bi Minah yang sedikit takut karena tidak membukakannya pintu.

"Tumben Mas Fahmi sudah pulang, Bi?  Dia sekarang di mana?" tanya Laras kepada Bi Minah yang sibuk memindahkan bubur ayam ke mangkok. 

"Iya, Nya. Tuan pulang dari jam 4 tadi. Tuan kayak buru-buru gitu masuk ke kamar, terus Non Nisa juga tadi nyusulin Tuan ke kamar," ucap Bi Minah polos. Tapi sedetik kemudian, dia memukul mulutnya yang dengan lancang berkata tanpa berfikir terlebih dahulu. Dia hanya merutuki mulutnya yang begitu sulit direm.

Laras hanya mematung mendengarkan ucapan Bi minah. Fahmi memasukkan Nisa ke kamarnya tanpa sepengetahuannya. Bi Minah yang melihat raut wajah Laras berubah masam seketika, semakin gugup.

"A-anu, Nya. Maksudnya bibi, anu....." Bi Minah semakin gugup, dia terus saja merutuki mulutnya yang membuat majikannya itu akan salah paham.

Tanpa menunggu ucapan Bi Minah selesai, Laras segera berjalan menaiki tangga. Demi apapun, dia akan memarahi Fahmi. Tidak sepantasnya dia membawa wanita lain ke kamarnya walaupun itu adalah madunya. Karena bagi Laras, kamar adalah privasi, dan orang lain tidak berhak memasuki kamarnya kecuali Fahmi, Adiba, dan keluarga dekatnya, tapi tidak dengan madunya.

Dengan wajah merah padam dan nafas memburu, Laras membuka knop pintu. Namun, gerakannya terhenti ketika melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Yah, Fahmi dengan kue yang ada ditangannya menyambut kedatangan Laras.

"Happy Birthday Laras... Happy Birthday Laras... Happy Birthday... Happy Birthday... Happy Birthday Istriku...." suara merdu Fahmi mengalun dalam telinga Laras.

Wajah merah padam menahan amarah, kini berganti menjadi wajah merah merona menahan gejolak dihatinya. Fahmi selalu memiliki cara untuk merayakan ulangtahunnya. Seperti saat ini, dia merias kamarnya sendiri hanya untuk merayakan ulangtahunnya. Wanita mana yang tak luluh jika diperlakukan begitu manis oleh suaminya.

"Tiup dong lilinnya, pegel nih tangannya megang kue dari tadi," rengek Fahmi dengan nada manjanya.

Dengan senyum yang terus mengembang dan mata yang mengembun, Laras meniup lilin dengan angka tiga puluh tujuh itu. Tidak disangka, umurnya semakin bertambah. Berarti akan semakin berkurang hidupnya di dunia ini.

"Terimakasih, Mas. Aku kira kamu sudah lupa dengan hari ulangtahunku," lirih Laras dengan tetesan air mata harunya.

Fahmi meletakkan kue diatas nakas. Setelah itu dia menggenggam jemari Laras dengan lembut. Ditatapnya mata indah sang istri. Dia sangat merindukan tatapan itu, tatapan lembut itu.

Netra mereka terkunci dalam beberapa detik, mereka saling menyalurkan rasa rindu lewat tatapan matanya. Setelah puas saling tatap, Fahmi membawa Laras kedalam pelukannya dan membiarkan kepala Laras bersender di dada bidangnya.

Dalam Tangisan Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang