Bagian 32

1.8K 184 2
                                    

🌸|Mohon Beri Vote|🌸

Hari ini, Ardi berangkat pagi - pagi sekali ke kota untuk menjemput keluarga ibunya. Lelaki itu pergi dengan membawa harapan besar, keluarga ibu menerima ajakannya untuk pindah ke desa.

Siangnya, sedan hitam miliknya sudah merapat di depan rumah kontrakan ibu. Ardi turun dari mobil diikuti oleh Zaki yang hari ini bertugas sebagai sopir sesuai perintah ayah.

"Assalamu'alaikum," ucap Ardi seraya mengetuk pintu triplek usang di depannya.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki dan pintu yang terbuka. Bastian tersenyum lebar menyambut kakaknya. Ia tak mengira bahwa Ardi akan datang lagi ke sini secepat ini. Segera saja, Bastian meraih tangan Ardi untuk ia salim.

"Wa'alaikumsalam. Ayo masuk, Mas!" Bastian membuka pintu dengan lebar.

Ardi serta Zaki bersama - sama masuk ke dalam rumah dan duduk lesehan.

"Di! Kamu datang lagi?" sapa Ayah yang keluar bersama ibu dari satu - satunya kamar di rumah ini.

Ardi tak lupa mencium punggung tangan kedua orang tuanya diikuti Zaki. "Ini Mas Zaki, Yah. Salah satu pekerjanya ayah Ridwan," katanya memperkenalkan. Zaki mengangguk sopan yang dibalas Pak Herman dengan senyum ramah.

"Apa kabar kamu?" tanya sang ibu.

"Baik, Bun. Bunda sama ayah juga baik kan?"

Berbarengan kedua orang tua itu mengangguk. Mereka senang Ardi mau repot - repot mengunjungi mereka. Terlebih ibu yang merasa lega Ardi tak membenci atau bahkan sampai dendam padanya.

Bastian datang dengan membawa nampan yang berisi gelas teh. "Silahkan diminum, Mas! Maaf seadanya," ucapnya seraya ikut duduk lesehan.

Ardi dan Zaki mengangguk.

"Kamu sudah makan, Nak? Bunda sudah masak, mau bunda siapin makan?"

"Nggak usah, Bun. Kami sudah makan tadi. Nanti saja," tolak Ardi. Mereka memang sudah mampir ke rumah makan di perjalanan ke sini.

"Bun! Yah! Maaf sebelumnya kalau Ardi menyinggung kalian. Niat Ardi datang ke sini, ingin mengajak kalian tinggal di desa yang Ardi tinggali selama ini." Ardi langsung mengutarakan maksud kedatangannya.

Pak Herman, Bu Lastri dan Bastian saling pandang. "Maksudnya, Nak?" tanya ayah bingung.

"Di sini kan kalian sudah nggak punya siapa - siapa lagi. Ardi takut kalian nggak ada yang mengurus kalau sakit. Sementara di sana, ada Ardi dan istri yang bisa jagain ayah dan bunda bergantian sama Bastian," jelas Ardi pelan. Ia tak ingin menyinggung keluarganya ini.

Mata Bu Lastri berkaca - kaca. Putra yang sudah ia sia - siakan, nyatanya begitu memikirkan keadaannya. Wanita itu bangga pada kebaikan hati yang dimiliki Ardi. "Maaf, Nak. Kami nggak mau merepotkanmu," tolaknya halus.

Ardi menggeleng tegas. "Ardi sama sekali nggak merasa direpotkan. Sudah kewajiban Ardi menjaga kalian, karena kalian keluargaku. Ardi justru nggak tenang kalau kalian tinggal jauh dari Ardi. Tolong Bunda sama ayah mau, ya. Sekali saja tolong kabulkan keinginan Ardi," pintanya memelas. Mata suami May itu memandang penuh harap pada sang orang tua.

Sekali lagi ibu, ayah dan adiknya berpandangan. Mereka bingung, Ardi memang tak pernah meminta apa pun pada mereka. Hari ini untuk pertama kalinya, putranya itu justru meminta hal yang sulit mereka kabulkan.

Bukannya mereka tak ingin tinggal dekat dengan anaknya tersebut, mereka ingin. Sangat ingin malah. Namun, mereka takut menjadi beban Ardi. Terlebih, apa tanggapan mertua Ardi nanti?

Selimut  Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang