🌸|Mohon Beri Vote|🌸
"Maaf ya, Nak. Ayah memang sengaja ndak kasih undangan ke ibumu. Ayah takut dia buat keributan di sini."
Ardi menggeleng. Kalau itu ia juga tahu bahwa wanita yang menjadi ibunya tersebut tak akan sudi untuk datang. Jika datang sekalipun, pasti membuat keributan. "Nggak papa, Yah. Ardi cuma ngerasa kalau kita bisa kumpul di sini sama keluarga bunda pasti akan terasa lengkap."
Pak Ridwan mengangguk mengerti.
"Atau nanti kamu sama May mau berkunjung ke rumah bunda mu? Nanti biar diantar sama Zaki," tawarnya."Nggak, Yah. Ardi nggak mau ganggu hidup bunda lagi," tolak Ardi yakin. Ini lebih baik. Biarlah, ibunya itu hidup bahagia bersama keluarganya tanpa dirinya.
Semua orang yang berada di sini memandang Ardi sedih. Lelaki itu juga sama seperti anak yang lain. Bahkan, siapa pun di sini dapat melihat bahwa Ardi begitu menyayangi ibunya. Namun, mengapa wanita yang melahirkannya tak bisa melihat ketulusan sang anak?
"Mas Ardi, ayo makan! Dari tadi kan belum makan. Ndak laper apa? Nanti ayamnya keburu dihabiskan Emma loh," celetuk May membuyarkan suasana sedih di ruang keluarga yang kini menjadi tempat makan mereka.
"Ih, ate May. Ayamnya masih banyak. Emma kan juga ndak akan habis," sungut Emma.
Ardi tersenyum. Ia tahu may tak benar - benar menggoda Emma. Istrinya itu hanya tak ingin ia terus - terusan sedih memikirkan ibunya. Bisa dikatakan, May mengalihkannya dengan mengusik keponakan cantiknya.
"Ya sudah. Tolong kamu ambilkan Mas makannya May. Emma sini! di pangku om Ardi," suruhnya.
Emma bangkit dari duduknya yang diapit kedua orang tuanya. Gadis kecil itu melangkah ke arah Ardi dan duduk dipangkuan om tersayangnya. Tak lupa si kecil itu menjulurkan lidah pada sang Tante yang memandangnya cemberut.
Sekalipun wajahnya ditekuk, tapi di dalam hatinya, May begitu lega melihat Ardi yang sudah tertawa - tawa bersama Emma. Ardi sudah bisa menerima keabsenan ibunya di pernikahan mereka. Meski May tahu kesedihan itu tak akan hilang.
Siapa sih yang akan melupakan pernikahan yang dilakukan sekali seumur hidup tanpa kehadiran ibu yang sangat dicintai? Jawabannya tak ada. Ardi tak akan melupakan kebahagian sekaligus kesedihannya di hari ini.
Sama dengan May, Pak Ridwan juga begitu lega ketika wajah murung putranya itu kini menghilang. Setidaknya, Ardi yang sudah tertawa bisa menghapus sedikit sesak di dadanya. Sungguh, keegoisannya di masa muda membuat banyak orang terluka. Jika ia sendiri yang terluka, Pak Ridwan tak akan peduli, tapi putra yang sangat dicintainya juga ikut menanggung kebencian sang ibu yang semestinya hanya diarahkan padanya.
Pria tua itu merasa benar - benar berdosa, tak hanya pada hidup Ardi, tapi juga hidup mantan istrinya. Sosok Lastri yang lemah lembut yang ia cintai kini, sudah tiak ada lagi karena perbuatannya. Bahkan,perempuan yang setahunya sangat menyayangi orang tuanya itu sekarang tega menyakiti hati putra yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh sulit sekali dipercaya.
"Pak Ridwan ndak makan?" Suara seorang wanita menyadarkannya. Menoleh, ia menemukan wanita paruh baya yang Pak Ridwan kenal sebagai ibu Zaki memandangnya khawatir.
"Iya saya akan makan."
"Ardi sudah ndak papa, Pak. Jadi bapak ndak usah khawatir," kata wanita itu menenangkan.
Pak Ridwan mengangguk mengiyakan. Ia akan tenang jika Ardi sudah baik - baik saja.
"Pak Ridwan mau makan pakai apa?" tanya wanita yang juga menjadi asisten rumah tangganya itu perhatian.
"Rawon saja, Yun," pinta pria sangat itu.
Ibu Yuni segera mengambil sepiring nasi rawon. Lalu, ia menyerahkan piring tersebut pada Pak Ridwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selimut Cinta
Ficção Geral(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA) Ardi tahu hidupnya akan semakin sulit saat ia memutuskan pergi dari rumah. Namun, memilih tetap tinggal di rumah pun bukan keputusan yang benar menurutnya. Lalu, takdir mempertemukannya dengan Samayra. Gadis muda yang t...