Bagian 36

2.2K 166 0
                                    

🌸|Mohon Beri Vote|🌸

Malam ini setelah salat isya, rumah besar Pak Ridwan tampak ramai. Sebab, tuan tanah tersebut sedang mengadakan selamatan tujuh bulanan kehamilan menantunya. Hal ini ia lakukan dengan tujuan mendo'akan bayi yang dikandung sang menantu dan juga agar ibu calon cucunya itu diberi kelancaran sampai melahirkan.

Pak Ridwan mengundang hampir seluruh warga kampung sebagai wujud rasa bahagianya yang sebentar lagi akan memiliki cucu. Tentu saja, wajah bahagia itu tak hanya terlihat dari Pak Ridwan seorang, tetapi juga anggota keluarga yang lainnya.

Bahkan, saat seorang Ustaz di kampung ini memimpin pembacaan doa - doa keselamatan, Bu Lastri sampai meneteskan air mata. Ia mengingat semua kesalahannya pada sang putra. Wanita itu juga tak menyangka bahwa putranya sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

Setelah pembacaan doa, acara selamatan diakhiri dengan memberi makan soto ayam pada para tamu yang hadir. Makanan ini dimasak sendiri oleh Bu Sri, Bu Lastri, Ismi dan tak ketinggalan Bu Yuni. Sedangkan untuk nasi kotak Pak Ridwan mengunakan jasa catering.

"Alhamdulillah. Acara hari ini berjalan lancar," celetuk Bu Yuni yang diangguki semua orang.

Semua tamu sudah pulang. Kini, hanya tersisa keluarga May, keluarga Bu Lastri serta Zaki dan ibunya yang masih duduk lesehan di ruang tamu.

"Lega sekali ya, Bu, kalau sudah selesai seperti ini. Sebelumnya saya kepikiran, takut ada yang kurang. Untung saja, Bu Sri sudah pengalaman," kata Bu Lastri dengan bahagia.

Di kampung ini selamatan tujuh bulanan dilakukan secara dua tahap. Pertama, pengajian ibu - ibu setelah asar. Dan tahap yang kedua setelah salat isya giliran pengajian bapak - bapak.

Hal ini membuat Bu Lastri yang belum pernah mengurus acara seperti ini tentu saja kerepotan. Ia yang awalnya ingin memasak semua makanan lengkap dengan nasi kotak bersama Bu Sri, Ismi serta Bu Yuni terpaksa mengurungkan niatnya. Mereka bertiga tak akan sanggup memasak sebanyak itu.

"Tapi kalau seperti ini saya juga ndak sanggup, Bu. Dulu kan Anwar cuma undang sedikit orang, tetangga sekitar rumah saja. Beda sama Ardi sekarang, hampir satu kampung diundang semua."

Ardi meringis. "Bukan maunya Ardi, Bu. Ayah tuh yang ngundang banyak banget," ucapnya seraya melempar kesalahan pada Pak Ridwan.

"Loh! Ayah kan terkenal di sini. Kalau ndak diundang ndak enak. Nanti dikiranya ayah sombong." Pak Ridwan membela diri. "Untuk cucu, ayah ndak mau perhitungan. Harus serba yang terbaik."

"Ya tapi nggak usah berlebihan juga, Yah."

Masalahnya, ayahnya itu sudah memborong perlengkapan bayi. Dimulai dari baju bayi, sarung tangan, kaos kaki, bantal bayi, bedong bayi, peralatan mandi, stroller, ayunan bayi dan box bayi besar yang diletakkan di kamar Ardi.

Ardi sudah pernah menegur ayahnya agar tak belanja yang berlebihan, tapi Pak Ridwan selalu beralasan ingin menjadi kakek siaga. Bahkan, Ardi selaku ayah si bayi belum membeli apa pun untuk anaknya. Lelaki itu bingung harus membeli apa, sedangkan semuanya sudah dilengkapi oleh sang kakek siaga.

"Pak Ridwan terlihat bahagia sekali ya menyambut cucu," komentar Pak Herman. Ia sering mendengar Ardi yang bercerita betapa antusiasnya Pak Ridwan.

Mata Pak Ridwan berbinar - binar. "Namanya juga cucu pertama, Pak. Saya takut ada barang yang kurang. Jadi saya beli semuanya. Entah itu perlu atau ndak, saya ndak peduli," kekehnya.

Ardi menggeleng pasrah. Percuma ia berkata panjang lebar melarang ayahnya. Pak Ridwan tak akan mendengarkannya. Sekarang dirinya sudah kalah dari anaknya yang bahkan belum lahir ke dunia.

Selimut  Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang