Bagian 10

2.3K 227 5
                                    

🌸|Mohon Beri Vote|🌸

Ardi bersama dengan Anwar mendatangi rumah Pak Ridwan. Rumah Pak Ridwan memang masih berada di kampung yang sama dengan mereka. Hanya terletak cukup jauh dari rumah warga.

Rumah Pak Ridwan dikelilingi kebun yang luas. Kata Anwar, kebun itu memang milik beliau. Ardi juga baru tahu ada rumah sebagus ini di sini. Rumahnya tak kalah megah dari rumah ayahnya di kota.

Dibanding dengan rumah penduduk pada umumnya, rumah Pak Ridwan sebenarnya lebih cocok disebut sebagai villa karena suasananya yang tenang. Sepertinya, Pak Ridwan menyukai ketenangan.

Ardi belum pernah berkeliling kampung sampai daerah sini. Ia hanya berkutat seputaran rumahnya, rumah Anwar, kebun dan sawah. Ditambah lapangan yang sore hari terdapat beberapa warung tenda disekitarnya. Itu pun jika Rozak memaksanya.

Anwar dan Ardi sudah duduk di ruang tamu mewah rumah Pak Ridwan. Ardi bisa menjamin perabotan di rumah ini berharga mahal. Perabotan yang tak akan ia temukan di ruang tamu rumah warga kampung lainnya.

Seorang asisten rumah tangga mengatakan bahwa Pak Ridwan sedang mandi. Wanita paruh baya itu menyuruh mereka untuk menunggu, sebelum meninggalkan mereka berdua ke dalam rumah.

"Mau apa kalian di sini?" Pertanyaan tak ramah itu datang dari seseorang yang baru datang dari arah luar pintu utama. Ayah Lia.

"Mau bertemu Pak Ridwan," jawab Anwar tenang.

"Buat apa lagi? Pak Ridwan sudah memutus kerja sama dengan kamu, jadi lebih baik kalian pergi," kata pria itu lirih seraya melirik kanan kiri dengan gelisah. Ia tampak seperti orang ketakutan.

"Kami ada urusan sama Pak Ridwan, bukan bapak. Dan ini rumah Pak Ridwan jadi bapak tidak punya hak mengusir kami." Anwar tidak menyerah.

Ia datang ke sini untuk bertemu Pak Ridwan. Ayah Lia tak punya hak untuk mengusirnya. Sedangkan, asisten rumah tangga saja menyambutnya dengan ramah serta menyuruh mereka menunggu sang tuan rumah.

"Kamu...."

"Ada apa ribut - ribut, Tarno?" sela suara dari arah tangga. Lalu, pria yang Ardi kira sepantaran dengan ayahnya itu duduk di sofa berhadapan dengan mereka.

Pria itu memiliki badan tinggi besar serta hidung yang mancung. Beberapa uban di rambutnya tak memudarkan ketampanannya.

Pria itulah Pak Ridwan. Ardi bisa menebaknya dari gelagat ayah Lia yang menunduk dengan wajah pucat. Lalu, Tarno segera berlalu setelah Pak Ridwan mengibas tangannya untuk mengusirnya.

"Kebetulan sekali Nak Anwar ke sini, saya sebenarnya juga ingin berbicara dengan kamu," sambutnya ramah dengan penuh wibawa.

Meski, wajah Pak Ridwan sangar tanpa senyum, tapi nada ramah dari suaranya itu masih bisa terdengar. Ardi mengernyitkan kening. Ia seperti pernah melihat wajah Pak Ridwan di suatu tempat.

"Apakah pembicaraan bapak tentang kerja sama kita?"

Pak Ridwan mengangguk. "Kenapa kamu memutus kerja sama kita, Anwar?"

Anwar dan Ardi saling lirik. Bukan kah Pak Ridwan sendiri yang memulai? Lalu, mengapa sekarang jadi mereka?

"Maaf sebelumnya, Pak. Kami ke sini justru ingin bertanya pada bapak, alasan apa yang membuat bapak memutus kerja sama?" tanya Anwar akhirnya.

Kernyitan samar muncul di dahi Pak Ridwan. "Maksudnya?" Ia balik bertanya dengan bingung.

"Kemarin utusan bapak datang ke kebun saya dan mengatakan bapak tidak ingin lagi membeli hasil panen saya," jelas Anwar yang membuat pria itu tampak kaget.

Selimut  Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang