Bagian 22

885 103 5
                                    

Happy reading



 
Matahari mulai menampakan dirinya di iringi kicauan burung seolah memberi peringatan pada seluruh manusia bahwa pagi telah datang. semuanya serba baru, hari baru, kegiatan baru. Mereka berbondong bondong untuk melakukan hal yang lebih baik dari pada yang lalu. Mengukir senyuman di sepanjang kegiatan mereka berharap hari yang mereka lalui tidak buruk.

Sebuah ruangan dengan cat berwarna abu-abu dan juga putih itu terkesan hening. Hanya detik jarum jam yang mengisi keheningan ruangan itu, sedangkan diatas ranjang terdapat segumpalan selimut yang menutupi seluruh tubuh sang gadis manis.

Cklek!

"ck! Punya anak gadis kok sukanya ngebo!" gerutu wanita paruh baya itu ketika memasuki kamar tersebut.

"Davi! Bangun, udah siang! Kamu nggak sekolah?!" Nia menggoyang goyangkan tubuh Davisa yang masih tertutupi selimut tebal, namun sang empu tak bergerak sama sekali.

"ini mayat atau manusia sih?! Susah banget kalau dibangunin"

Nia kembali menyerukan nama Davisa seraya menepuk tubuh Davisa. Merasa geram tidak mendapati anaknya bangun Nia menarik selimut yang menutupi tubuh Davisa secara paksa.

Namun bibir wanita paruh baya itu seketika kelu melihat keadaan anak gadisnya. Tadinya ia ingin menyemproti segala omelan untuk Davisa yang bangun siang kini ia hanya bisa terdiam kaku.

Davisa yang merasa terusik dengan siluet sinar matahari akhirnya membuka matanya pelan. Namun sedetik kemudian ia terkejut melihat keberadaan Nia yang menatapnya dengan binaran mata sendu.

"bunda?! Bunda kapan pulang?!" Davisa bangun dari tidurnya dan mendudukan diri diatas ranjang dengan tubuh yang kaku. Semalam Nia sempat mengabari jika Nia akan menginap di salah satu butik milik temannya dan akan pulang besok siang, Davisa malam itu langsung lega. Dengan begitu Nia tidak akan melihat luka luka disekitar tubuhnya dan khawatir pada dirinya. Namun Davisa tidak menyangka Nia akan pulang pagi ini.

"ka-kamu….apa y-yang terjadi?" Nia duduk di pinggir ranjang Davisa dengan gerakan pelan. Ia mengelus pipi Davisa dan ujung bibir anaknya yang terluka.

Davisa terdiam dengan tatapan yang masih terpaku menatap Nia. Ia memegang tangan Nia yang mengelus luka diujung bibirnya. "apa yang terjadi Davi? Kenapa kamu bisa terluka? Siapa yang melakukan ini? Kenapa…..orang itu melukai kamu?" Nia bertanya secara beruntun. Raut wajahnya sudah penuh akan kekhawatiran.

"apa orang itu ya-"

"bukan..bukan siapa siapa bunda, kemarin aku nolongin orang yang dicopet" secepat kilat Davisa memeluk tubuh Nia dan memotong ucapan Nia. Davisa merasa hancur melihat tatapan yang meredup dan rasa bersalah di mata Nia. Davisa tak sanggup harus melihat Nia sedih.

"kamu nggak bohong kan?"

Davisa menggeleng tegas menjawab pertanyaan Nia. Sekuat tenaga Davisa menahan air mata yang hampir menetes, Davisa ingin terlihat kuat dimata Nia. Jika Nia sudah rapuh maka Davisa yang harus kuat sebagai penyemangat Nia sekaligus kebahagiaan wanita paruh baya itu.

"lain kali kamu hati-hati sayang, boleh menolong orang lain tapi kamu juga harus menjaga diri kamu sendiri. Bunda nggak mau ya harus kehilangan anak satu-satunya karena menolong orang lain. Karena bunda cuma punya kamu" Nia mengusap surai rambut anaknya yang begitu halus. Rasa khawatir yang melanda hatinya kini sirnah entah kemana setelah mendengar penjelasan anaknya.

"iya bunda tenang aja, Davi nggak sebodoh itu mengorbankan diri Davi dan meninggalkan bunda sendirian. Davi hidup untuk berada disisi bunda"

"kamu libur aja ya hari ini, biar nanti bunda anter surat izin ke sekolah" ujar Nia seraya melepas pelukan mereka berdua.

DAVISA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang