Pelan-pelan aja

51 6 17
                                    

Jangan tanya bagaimana keadaan Caramel, karena Caramel terbilang cukup baik-baik saja. Tapi dia sedikit gelisah karena dia sudah menyerah mengejar Renjun. Dia jadi takut bertemu Renjun. Padahal tidak ada salahnya tetap berteman dengan Renjun, mereka sudah berjanji sejak awal. Caramel dan Renjun sudah berjanji akan tetap menjadi sahabat. Ya, Caramel bersyukur kalau Renjun masih menerimanya menjadi sahabat.

Semalam, Caramel menelpon Haidar. Dia bilang kalau dia sudah menyerah dan memilih berhenti untuk mengejar Renjun. Haidar mendukung keputusannya untuk berhenti. Laki-laki itu bilang, kalau dirinya sudah sama muaknya dengan Giselle karena Caramel terus mengejar Renjun. Haidar juga memberinya nasihat, lebih tepatnya seperti ceramah. Caramel hanya mendengarkannya tanpa membantah.

Hari ini adalah hari pertamanya tidak melakukan apapun yang dia lakukan sebelumnya. Siang ini Caramel pergi ke kampus bersama Giselle. Tadi pagi, Caramel hampir membuat bekal untuk Renjun. Tapi niatnya langsung terhenti saat teringat kalau dirinya sudah berhenti. Caramel langsung pergi dari dapur tanpa banyak bicara, meninggalkan Dirga yang berdiri di dekat kulkas dengan banyak pertanyaan di benaknya.

Giselle dan Caramel berjalan beriringan ke dalam kampus. Mereka di antar oleh supir Giselle. Giselle yang menawari tumpangan pada Caramel, Caramel mana mungkin menolak tumpangan gratis. Sekarang mereka sedang menuju fakultasnya.

“Lo siap kan, Mel?” Giselle memecah keheningan di antara mereka.

Caramel menoleh ke arah Giselle dengan kerutan di dahinya, “maksudnya?”

Giselle menoleh ke Caramel, “siap melepas Renjun.”

Caramel tersenyum, “siap dong, masa ga siap.” dia terkekeh.

“Pelan-pelan aja, gue tau kok kalau itu ga gampang,” ujar Giselle. Menepuk bahu Caramel.

“Iya, merelakan seseorang emang ga gampang,” kata Caramel. “Tapi gue harus merelakan dia, kan?”

Giselle mengangguk, “masih ada banyak cowok di luaran sana, Mel. Lo bisa cari cowok yang cinta sama lo dengan tulus.”

I know, Giselle.” Caramel tersenyum mendengar perkataan Giselle.

Giselle merangkul bahu Caramel, “emang kodratnya tuh cowok yang ngejar, bukan cewek. Jadi, bagus deh kalau lo berhenti ngejar-ngejar cowok ga jelas kaya Renjun.”

Caramel terkekeh, “jangan gitu, tega banget lo sama dia.”

“Ga tau deh, gue kesel banget sama dia. Kenapa sih dia ga melirik lo sedikit pun? Gue tuh kesel, sahabat gue ngejar-ngejar dia. Tapi ga ada respon dari dia,” ucap Giselle. Tangannya bergerak memukul udara.

“Takdir Tuhan, gue sama dia ga bisa barengan,” kata Caramel. “Udah lah, ngapain bahas dia? Mending kita ke kantin, isi perut. Kelas masih di mulai sejam lagi.” Caramel merangkul lengan Giselle dan menariknya menuju kantin.

Mereka berdua pergi ke kantin untuk mengisi perut sebelum kelas di mulai. Caramel yang traktir. Hitung-hitung bayar budi pada Giselle yang sudah mendukungnya selama ini. Giselle sih kesenangan di traktir sama Caramel. Caramel membeli soto dan jus jeruk, sedangkan Giselle memesan timlo dan jus jeruk juga. Mereka berdua duduk di dekat jendela yang berhadapan dengan danau. Pemandangan yang bikin tenang.

Mereka berdua makan dengan khidmat. Tidak banyak bicara, nanti tersedak. Banyak yang berada di kantin untuk sekedar mengisi perut. Kebanyakan sih anak cewek, mungkin sekalian menggosip. Cewek-cewek kalau udah kumpul, pasti ada aja bahan buat di gosipin. Entah itu benar atau tidak. Seenggaknya ada asupan gosip sebelum berkutat dengan kertas-kertas di kelas nanti.

Drrttt drrttt

Saat sedang asik makan, ponsel Caramel bergetar. Mau tidak mau, Caramel menghentikan kegiatannya. Dia mengambil ponselnya dan nama Haidar terpampang di ponselnya. Caramel izin pada Giselle untuk mengangkat telpon, Giselle hanya mengiyakan.

[i] The End of Us (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang